Bahas Transgender Institute, Maya dan Ayu Mahasiswa FBS Presentasi Ilmiah di Thailand

Hasrat FBS UNY yang digadang-gadang go international direalisasikan oleh Atik Dhamayanti (Pendidikan Bahasa Inggris) dan Rahayu Rizkie Prihatamie (Pendidikan Bahasa Prancis) yang presentasi ilmiah di Thailand. Acara yang bergengsi itu bertajuk, “The 6th International Conference on Educational Research” yang dilaksanakan pada 13—14 September 2013, di Fakultas Pendidikan Universitas Khon Kaen Thailand.

Konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Universitas Khon Kaen tersebut mengajak para akademikus se-ASEAN guna membahas persoalan pedagogis. “Karena tentang pendidikan, kami mengangkat subtema tentang pemerataan pendidikan bagi kaum waria,” tandas Atik yang pula sebagai pengurus UKM Penelitian. Sementara judul yang mengantarkannya ke negeri “gajah” itu bertajuk “Transgender Institute: Self-Empowerment Community for Transgender Community”.

Berangkat dari persoalan diskriminasi pendidikan bagi kaum waria di Yogyakarta, tercetuslah ide cemerlang untuk pemerataan pendidikan kaum waria. “Kami menawarkan solusi yaitu Transgender Institute sebagai forum untuk menyalurkan pendidikan bagi kaum waria,” jelas Atik. Sejatinya pendidikan itu menyeluruh serta tanpa pandang bulu “siapa” peserta didiknya karena Indonesia secara yuridis berkehendak untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Begitu pula proses pendidikan bagi kaum waria, harus rata dan menyeluruh tanpa pilih kasih.”

Tatkala makalah selesai dipresentasikan, banyak penyimak yang antusias bertanya dan terjadilah proses diskusi ilmiah. “Apakah Transgender Institute ini dapat diaplikasikan di Thailand, apabila melihat kuantitas waria di Thailand juga banyak,” tanya Okung Ka Bombam, mahasiswa Universitas Khon Kaen. “Sangat mungkin sekali, melihat kualitas pendidikan di Thailand juga bagus,” jawab Atik.

Berbeda negara, maka akan berbeda pula kultur budayanya. Di Thailand, waria lebih dapat diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, di Indonesia waria menjadi entitas yang tersisihkan. “Keadaan transgender “waria” di Thailand tidak sebegitu dipandang sebelah mata, di sini mereka lebih diterima,” tutur Ming Saenharn mahasiswa pascasarjana Universitas Khon Kaen. Selain itu, “keunikan” pakaian waria di Thailand cenderung ditoleransi oleh masyarakat umum. Sebab, pakaian itu menujukan identitas keberadaan waria itu sendiri. “Pakaian terbuka para waria tak menjadi masalah, karena itu sebagai eksistensi wanita,” tambahnya.

Di samping presentasi ilmiah, Atik dan tim mendapatkan asupan ilmu dari serangkaian acara di antaranya: simulasi pembelajaran di kelas yang dipimpin oleh Yutaka Oneda dari University of Tsukuba, mengikuti Class Reflection bersama Prof. Dr. Michael Kleine dari University of Bielefeld (Jerman), Prof. Yeap Han Har (Singapura), dan Prof. Dr. Masami Isuda (Jepang), dan dosen Thailand lainnya. Selamat dan sukses! (Rony/Humasfbs)