Bincang Bimbang Mahasiswa Angkat Wayang Kulit

FBS-Karangmalang. Siapa tak kenal Wayang kulit? Salah satu warisan nenek moyang yang patut dilestarikan dari generasi ke generasi.  Wayang yang berasal dari kata Wahananing Hyang ini memiliki makna sarana menuju Tuhan. Singkat kata, wayang merupakan cerminan hidup di dunia. Tak heran dalam pementasannya, wayang biasa menyajikan cerita sarat makna yang dapat dijadikan tauladan bermasyarakat. Secara sederhana, wayang kulit merupakan sebuah kesenian tradisional masyarakat  Jawa yang terbuat dari kulit binatang dan diukir sedemikian rupa serta dimainkan oleh seorang dalang dan diiringi oleh musik tradisional, yakni gamelan.

Namun, pada perkembangannya eksistensi wayang seakan memudar dan tersamarkan oleh budaya asing yang dianggap lebih modern dan patut diikuti oleh generasi muda. Kondisi inilah yang membuat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (BEM FBS UNY) bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa (Hijaw) menyelenggarakan acara Bincang Bimbang Mahasiswa (BBM #1) bertajuk  “Eksistensi Wayang Kulit Memudar, Siapa yang Bertanggung jawab?”  pada Rabu (24/4) di Pendopo Tedjokusumo.

Dr. Suwardi E, M. Hum (Ketua Jurusan PB Jawa) selaku pembicara mengungkap keprihatinannya soal kondisi wayang saat ini. “Generasi muda cenderung lebih percaya diri dengan mengakui budaya asing daripada budaya sendiri, malahan banyak yang berkilah wayang itu tidak patut ditonton karena banyak mengajarkan kekerasan,” ujarnya. Sebenarnya dibalik semua itu wayang kulit memiliki arti dan seni yang tinggi dilihat dari ukiran dan pesan-pesan yang disampaikan oleh seorang dalang.

Dalam acara yang dimoderatori Afwas Afif (Mahasiswa PB Jawa 2011) hadir pula L. Hendro H. (Korbid Pedhalangan UKM Kamasetra 2012) sebagai pembicara. Menurutnya wayang tidak akan pudar karena selalu memiliki penikmat tersendiri. Baginya agar eksistensi wayang tetap terjaga, minimal generasi muda mengenal para tokoh-tokohnya. “Dengan mengenal tokoh-tokoh itu saja cukup, apalagi jika mendalaminya.” Demikian tutur Hendro yang juga seorang dalang muda. Kita tinggal menentukan akan menjadi penikmat atau pelakon seni. “Kebudayaan itu tidak akan pernah punah, yang punah adalah yang melestarikan,“ tambahnya. Dalam acara tersebut, Hendro juga berkesempatan mempraktekkan kebolehannya.

Wayang kulit harus terus dan tetap dilestarikan keberadaannya. Para generasi berikutnyalah yang harus melestarikannya agar tidak hilang ditelan jaman. Jika bukan generasi muda siapa lagi yang menjaganya. Agar semakin menarik, pagelaran harus dikemas semenarik mungkin, seperti halnya sentuhan musiknya, dll. BBM #1 sendiri merupakan salah satu rangkaian acara Open House BEM FBS 2013. Open House yang bertema Keberagaman dalam Kebersamaan sendiri telah diselenggarakan sejak 21/4, kegiatan ini diawali Onthel Bareng Sedulur, Bincang Bimbang Mahasiswa #1 (24/4), Seminar Nasional Sastra dan Budaya (29/4), dan Malam Puncak yang akan diselenggarakan pada (2/5). “Acara ini terbuka untuk umum, silahkan bagi yang ingin berpartisipasi,” jelas Guci Profita selaku koordinator acara. (Fitri Ananda/HumasFBS)