Danceability: Menyatukan Persepsi dan Menjunjung Tinggi Hak Asasi Melalui Seni Tari

FBS-Karangmalang. Keterbatasan bukanlah penghalang bagi kreativitas manusia. Dalam kondisi apapun manusia dapat tetap berkarya selama mereka memiliki mimpi dan kemauan untuk mewujudkannya. Hal tersebut dibuktikan para peserta Workshop Danceability: Creative Expressions for All People yang diselenggarakan State Department of USA bekerja sama dengan Fakultas Bahasa dan Seni UNY.

Workshop telah diadakan selama tiga hari sejak Senin (29/4) hingga Rabu (1/5). Yang menarik dari acara ini adalah bahwa selain dosen dan mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Tari FBS, peserta juga berasal dari kalangan difabel. Peserta difabel tersebut di antaranya adalah tuna rungu, tuna wicara, dan penderita down syndrome. Alito Alessi, direktur artistik sekaligus pendiri Danceability International didatangkan langsung oleh Kedutaan Besar Amerika Serikat dengan dibersamai Karen Daly, pengajar Danceability yang merupakan pengguna kursi roda untuk membagi ilmunya kepada para peserta. Puncak dari acara ini adalah pergelaran hasil workshop dalam bentuk tari kontemporer yang diselenggarakan di Pendapa Tedjokusumo pada Kamis siang (2/5).

Rektor UNY, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. beserta jajarannya dan Dekan FBS, Prof. Dr. Zamzani, M.Pd. beserta jajarannya hadir dalam pergelaran ini. Sylvia Young yang merupakan Atase Kebudayaan Amerika Serikat juga hadir dan menyampaikan terima kasihnya kepada FBS UNY. Selain itu, tamu berasal dari Yayasan dan Sekolah Luar Biasa, mahasiswa FBS, dan masyarakat umum. Hal tersebut membuktikan bahwa UNY sebagai kampus yang humanis peduli terhadap hak asasi manusia khususnya kalangan difabel.

Pergelaran tari ini merupakan tempat untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan seni, sekaligus sebagai ajang pembuktian untuk menepis segala anggapan negatif mengenai penyandang cacat. Selama ini, penyandang cacat dianggap tidak mampu melakukan hal-hal yang berbau seni seperti seni tari ini. Hal tersebut tentunya melukai hak asasi mereka untuk bebas berekspresi. “Hak asasi manusia adalah milik setiap orang bagaimanapun kondisi orang tersebut, nothing’s late for humanity,“ Wakil Rektor IV, Prof. Suwarsih Madya, Ph.D mengatakan dalam sambutannya.

Dalam acara ini tampil pula tiga anak difabel dari Yayasan Autis Bina Anggita Yogyakarta. Ketiga anak tersebut, Henriko, Arka, dan Wawan menyanyikan lagu diiringi permainan keyboard. Penonton terlihat antusias sekaligus terharu ketika mereka tampil secara bergantian dengan penuh semangat dan rasa percaya diri.

Setelah itu, dimulailah pertunjukan tari kontemporer oleh 33 peserta workshop dan Karen Daly. Tarian tersebut dikoreograferi langsung oleh Alito Alessi. Tabuhan gamelan mengiringi para penari mengawali tarian dengan membentuk lingkaran besar dan seorang penari yang melakukan breakdance di tengah lingkaran. Meskipun hanya memiliki satu kaki, penari center tersebut dapat melakukan breakdance dengan sangat baik hingga memukau para penonton. Selanjutnya, satu per satu penari bergerak menuju ke penari center tersebut dengan gerakan-gerakan kontemporer. Gerakan tersebut merupakan bentuk ekspresi dari emosi mereka. Terlihat dua penari difabel cilik yang melakukan gerakan dengan bantuan penari dewasa lain. Tarian tersebut berlangsung selama hampir 30 menit.

Pergelaran tersebut dilanjutkan dengan tanya jawab antara peserta dan Alessi. Berbagai pertanyaan dan komentar dilontarkan oleh penonton dan dijawab dengan penuh semangat oleh Alessi. Di akhir acara, panitia memberikan kejutan untuk Alessi dengan menampilkan improvisasi tari kontemporer menggunakan sebuah instrumen gamelan.

“What a surprise! That was beautiful to see them improvising together. And the faculty of the university here were incredibly generous, they took good care of us, anything we needed they helped to make happen, and provided it. That was a great opportunity to have an incredible culture and people here. I think it’s one of the warmest, most loving, gentle cultures that I’ve ever been in. This was an honor to be here and I learned so many, many, many special things from the people!” Demikian komentar Alessi ketika diwawancarai tim reporter Humas FBS.

Sebagai penghargaan, dekan FBS menyerahkan cinderamata kepada Alito Alessi, Karen Daly, Sylvia Young, dan perwakilan dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Selain itu, seorang tuna rungu bernama Annisa juga memberi Alessi sebuah kenang-kenangan berupa gambar wajah Alessi.

Pementasan ini bukan hanya merupakan sebuah pertunjukan, melainkan bentuk kerja sama tentang siapa kamu, siapa kita, dan apa yang dapat kita lakukan bersama. Seluruh peserta baik difabel maupun bukan-difabel datang untuk menyamakan persepsi melalui seni tari dan akan menampilkan hasil karya mereka untuk menunjukkan bahwa mereka adalah sama, karena mereka memiliki kesempatan yang sama pula. Keterbatasan yang ada bukanlah penghalang dalam penyatuan persepsi tersebut.  “We have a common language, and we use the common language of our body, because it’s not difficult to learn if we want to listen to each other”, kata Alessi senada dengan yang dituturkan Sylvia Young dalam sambutannya, “Dance is a universal language that can bring people together. It’s not about changing people, it’s about accepting people.”

Acara ini menjadi inspirasi bagi para penonton yang hadir. “We love it! Very nice, because there are so many differences between all the children and we think that’s what makes it very nice!” kata Merika, salah satu penonton dari Belanda. Menurut  Alek Kurniawan, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jerman, acara ini merupakan sarana refleksi diri. Jika penyandang cacat saja mampu mengkreasikan tarian yang indah, kita tentunya bisa melakukan hal yang sama, bahkan lebih baik. Melalu program seperti ini kita dapat memperbaiki diri kita untuk dapat terus berkreasi.

Danceability International adalah organisasi non-profit yang berpusat di Oregon, Amerika Serikat. Komunitas ini menyatukan perbedaan diantara orang-orang yang difabel maupun tidak melalui tarian. Sejak berdiri pada 1987 lalu, Danceability telah mempersatukan lebih dari satu juta orang dari 37 negara. 400 orang dari 25 negara juga telah bersertifikat sebagai pengajar di komunitas ini. Mereka menyelenggarakan berbagai kegiatan edukasi, workshop, dan telah tampil di berbagai negara. Kali ini mereka terlibat dalam program Art Envoys atau duta seni pemerintah Amerika Serikat yang akan mengunjungi tiga negara Asia.

The US State Department invited major organization to come here to Indonesia, and then to Mongolia, and then to Philippines. Indonesia is the first. We hope to come back and want to train people our methodology, so that your own people can be teaching with worth to each others throughout your country,” ungkap Alessi. (Zakiyah/HumasFBS)