Dialog Budaya: Mari Bergerak dalam Level Global, Loyal pada Lokalitas dengan Individualitas Total

FBS-Karangmalang. Jumat (27/5), Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Penelitian LIMLARTS bekerja sama dengan komunitas Studi Budaya menyelenggarakan dialog budaya bersama Prof. Suminto A. Sayuti. Dialog yang diselenggarakan di gedung IKM FBS lantai tiga ini bertemakan “Budaya sebagai Sarana Mahasiswa Membentuk Karakter Kebangsaan“. Turut hadir Dekan FBS Prof. Dr. Zamzani, M. Pd. dan Pembantu Dekan III, Herwin Yoga Wicaksono, M. Pd beserta peserta dialog dari berbagai universitas di Yogyakarta.

Dalam dialog ini, Budayawan Prof. Suminto A. Sayuti menyampaikan pentingnya multikulturalisme sebagai pembentuk karakter kebangsaan Indonesia. Menurutnya, Indonesia adalah bangsa yang telah mengakui pluralisme namun di saat yang sama pengakuan ini justru berpotensi menihilkan kelompok yang berbeda. Olehnya itu, pluralisme perlu didigerakkan menjadi multikuluralisme dengan adanya penanaman sikap untuk memberikan ruang sekecil apapun bagi yang berbeda. Sebagai contoh perwujudan sikap ini adalah dosen yang akhirnya tidak lagi menjadi adigang, adigung, adiguna (membanggakan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian) dan mahasiswa tidak lagi merasa berhak untuk mengklaim segalanya sehingga yang terjadi adalah “tegur sapa” antara mahasiswa dan dosen.

Pada kesempatan ini, Guru Besar Bahasa Sastra Indonesia UNY ini mengungkapkan perlunya tiga hal yang dilakukan mahasiswa untuk Mengindonesiakan Budaya yakni bergerak dalam level global, loyal pada lokalitas, dan individualitas yang total. Selain itu, Suminto menegaskan tentang perlunya individualisasi pada mahasiswa yaitu sikap menjaga aspek-aspek kebudayaan namun masih memiliki kedaulatan diri (self-sovereignty) sehingga bisa menghadapi realitas dalam diri, lingkup lokal, maupun global.

“Mahasiswa yang menjadi sovereign individual adalah individu yang yang bisa hidup dalam lokalitas dan kebudayaan. Namun, kecenderungan yang terjadi adalah mahasiswa yang cenderung antilokal. Mahasiswa cenderung menggunakan pemikiran barat ketimbang pemikiran lokal. Padahal, kebudayaan barat tidak selalu sesuai dengan karakter Indonesia,” ungkap mantan Dekan FBS ini.

Untuk itu, Prof. Suminto mengajak mahasiswa untuk menengok kembali kekayaan lokal, misalnya melalui filosofi kepemimpinan Jawa dalam gamelan. Lewat filosofi inilah, menurutnya, kita bisa meneladani kedudukan pemain gendang sebagai pemimpin dalam pertunjukan gamelan. Sebagai pemimpin, pemain gendang duduk di antara pemain lainnya, ikut bermain musik dan memakai pakaian yang sama dengan pemain lainnya. Ini menyimbolkan pemimpin yang melebur bersama yang dipimpinnya. Jauh berbeda dengan filosofi kepemimpinan pertunjukan musik barat, misalnya melaui kepemimpinan dirigen dalam sebuah orkestra, dimana dirigen menggunakan pakaian yang berbeda dan berdiri paling depan untuk mengatur pemain lainnya. Ini menyimbolkan model kepemimpinan yang bersifat mengatur. (Febi)