Diskusi Ilmiah Bahasa Indonesia: Ada Apa dengan UN Bahasa Indonesia?

Permasalahan tentang rendahnya nilai Bahasa Indonesia dalam Ujian Nasional (UN) telah meresahkan segala pihak, baik siswa, pendidik, maupun institusi pendidikan tertinggi. Ketidaklulusan karena nilai UN Bahasa Indonesia yang dialami oleh 154.000 siswa (73% jumlah total siswa) mendorong para pendidik dan pemerhati bahasa memerlukan kajian ulang pada UN Bahasa Indonesia. Di Gedung PLA FBS, Asosiasi Pendidikan Bahasa Indonesia kemudian menyelenggarakan Diskusi Ilmiah Bahasa Indonesia (7/08/2010) bersama narasumber dari Kemendiknas, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), para guru besar, Dinas Pendidikan, dan penulis buku.

Diskusi ini bermuara pada permasalahan-permasalahan mendasar yang berdampak pada nilai UN Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang menjadi momok di dunia pendidikan berdasar pada pembelajaran Bahasa Indonesia yang lebih dianggap sekedar pengetahuan bahasa, bukan sebagai pengetahuan keterampilan berbahasa. Padahal, soal-soal yang diujikan di UN itu menjadi barometer kompetensi berbahasa peserta UN. “Peserta UN dengan nilai UN Bahasa Indonesia yang tinggi seharusnya mencerminkan kompetensi bahasa Indonesia yang tinggi.” Tutur Prof. Burhan Nurgiyantoro.

Dra. Maria Widiani, M. A, dari Direktorat Profesi Pendidik PMPTK, juga menyebutkan,” kualitas guru mempengaruhi kompetensi berbahasa Indonesia siswa di kelas.” tuturnya. Data dan hasil observasi yang dihimpun menunjukan 57% guru Bahasa Indonesia belum menempuh S1/D4. Selain itu, adanya mismatch antara mata pelajaran dengan latar belakang pendidikan guru, serta kreativitas yang rendah dalam mengaplikasikan KTSP mengakibatkan Bahasa Indonesia dianggap sebagai analisis bahasa yang bersifat subjektif belaka dan terkesan membosankan. Prof. Dr. Bambang Kaswanti Purwo pun menambahkan analisis permasalahan dasar kompentensi berbahasa Indonesia dari sudut pandang peta kebahasaan di Indonesia. “Tujuh puluh tiga persen anak Indonesia berumur 9 tahun tidak menggunakan bahasa Indonesia di rumah,” ungkapnya. “Alhasil, keberadaan bahasa ibu yang lebih akrab pada siswa mempengaruhi kemampuan berbahasa Indonesia mereka.” Hernowo, penulis buku terkenal dan guru Bahasa Indonesia berresolusi, “ sebaiknya para guru bahasa menjadi teladan dalam membaca dan menulis yang memberdayakan,” ujarnya dalam hal membangkitkan ketertarikan bahasa Indonesia pada siswa. 

Kaitannya dengan UN para narasumber juga menemukan adanya ketidakterkaitannya UN dengan kurikulum. Curiculum Text-Based Learning (CTL) dalam kurikulum bahasa di Indonesia dengan model teks otentik tidak diterapkan secara praktis dalam UN. ”Namun, paling tidak soal ujian dibuat yang mengarah ke otentik, yaitu yang menempatkan bahasa sebagai sarana berkomunikasi dan bukan tes bahasa demi bahasa itu sendiri.” ungkap Burhan Nurgiyantoro.” Faktor pemilihan teks dan keterbacaan UN yang sulit bagi siswa juga menjadi permasalahan rendahnya nilai UAN Bahasa Indonesia.” Untuk itu, narasumber menuturkan bahwa pembuatan soal-soal UN yang melibatkan berbagai hal penulisan soal masih harus ditingkatkan lagi dengan melihat kelemahan dan kelebihan pada soal-soal UN sebelumnya. (Febi)