Mengukur Mental dan Apresiasi Warga FBS dengan “Mengamen“

     FBS-Karangmalang. Terdengar alunan suara sayup-sayup dari kejauhan ketika saya memasuki area FBS. Saya melihat ke sekeliling, mencari-cari sumber suara nan merdu itu. Tampaknya suara itu berasal dari ujung barat Gedung Kuliah II FBS, suara gitar dan flute! Pelan-pelan saya mendekati sumber suara, mengintip-intip siapa yang sedang memainkan dua alat musik kesukaan saya tersebut. Dalam hati saya menduga, pasti mahasiswa seni musik! Benar. Yeremia dan Anda, mahasiswa seni musik yang sangat bertalenta, saat itu sedang memainkan sebuah lagu dan tampak sangat menikmatinya. Di depan mereka letakkan sebuah case flute, dan ternyata case itu sudah penuh dengan pecahan uang mulai dari lima ratusan hingga dua ribuan rupiah.
    Tanpa pikir panjang saya dan teman saya, Binta langsung menghampiri mereka, sekedar ingin berbincang-bincang sebenarnya apa yang tengah mereka lakukan. Melihat mereka, kebanyakan mahasiswa pasti langsung berpikir bahwa mereka sedang mengamen. Tidak demikian dengan kami. Kami yakin pasti ada hal lain yang “lebih” dari sekedar mengamen. Awalnya pembicaraan berlangsung dengan sangat hambar. “Kami cuma sedang latihan biasa,” terang Anda. Kami tidak puas dengan jawaban tersebut dan terus melontarkan pertanyaan kepada mereka. Namun, seketika pembicaraan berubah saat Anda mengajukan sebuah pertanyaan kepada kami.
    “Menurut kalian, seni itu apa?“ tanya Anda.  Pertanyaan sederhana, tapi tidak mudah untuk menjawabnya. Saya hanya menjawab bahwa seni adalah sesuatu yang menyenangkan. Kemudian Yeremia menguji jawaban saya tersebut, “ berarti menurutmu lagu-lagu sedih itu bukan seni?”. Saya diam, tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. “Oooh, seni itu sesuatu yang bisa membuat kita menikmatinya!” potong Binta. “Kalian terlalu berbelit-belit,” komentar Yeremia.
     Kami berpikir keras, sementara Yeremia dan Anda hanya senyum-senyum saja. Kami merasa diskusi tersebut mulai hangat, sementara mereka tetap rileks sambil bermain-main kecil dengan alat musik mereka. “Kami hanya sedang menguji mental kami sendiri, dan melihat bagaimana apresiasi mahasiswa bahasa kepada permainan musik,“ ungkap Anda. Sebuah cara yang unik.
      Yeremia dan Anda berpendapat, bahwa bahasa dan seni memiliki kaitan yang sangat erat. Tidak seharusnya mahasiswa seni dan mahasiswa bahasa merasa “terpisahkan”. Bahasa membutuhkan media untuk menyampaikan maksud, dan seni adalah media yang sangat baik untuk menyampaikan maksud tersebut. Sementara itu, alat musik adalah media untuk menyampaikan musik. Jadi, alat musik adalah media dari bahasa. Suatu pemikiran yang sangat logis, dapat diterima, dan tentu sangat kritis.
Sebenarnya, mereka tidak ada niat sama sekali untuk mengamen. Awalnya mereka hanya ingin menguji mental mereka dengan berlatih di tempat yang baru. Uang juga bukan merupakan bentuk apresiasi yang mereka inginkan. Anda dan Yeremia pun terus menanyai kami tentang berbagai hal tentang seni dan apresiasi.
       Menurut mereka, apresiasi bukan tentang menghargai saja, melainkan lebih dari itu. Oleh karenanya, mereka sebenarnya tidak mengharapkan  uang sebagai bentuk apresiasi untuk aktivitas seni yang sedang mereka lakukan saat itu. Bagi mereka, apresiasi yang sesungguhnya adalah dengan memberi tanggapan. Memberi uang adalah bentuk tanggapan yang kecil. Tanpa melakukan aktivitas seni pun semua orang bisa mendapatkan uang, sedangkan tanggapan?
      Mengenai seni, bagi mereka seni juga tidak sebatas dalam pengertian “sesuatu yang indah, menyenangkan, atau dapat dinikmati“ saja. Seni adalah tentang olah rasa. Seni adalah tentang bagaimana seseorang dapat menyampaikan perasaannya kepada orang lain, atau sebaliknya, bagaimana seseorang dapat menangkap perasaan orang lain yang disampaikan kepadanya. Seni adalah tentang bagaimana orang lain merasakan apa yang kita rasakan, dan tentang bagaimana merasakan apa yang orang lain rasakan. “Seni adalah olah rasa!” ungkap Anda.
     Sebuah pembicaraan yang sederhana akan tetapi sungguh kaya akan makna. Pembicaraan ini bukan hanya sebatas pembicaraan mengenai apa itu apresiasi dan apa itu seni. Akan tetapi, tentang bagaimana memposisikan diri sebagai mahasiswa, praktisi bahasa, pelaku seni, menghadirkan seni, mengapresiasi seni, dan mengkritisi seluruh aspek tersebut dengan cara yang tidak biasa. Inilah cerminan mahasiswa FBS, kampus bahasa dan seni yang humanis dan menjunjung tinggi budaya Indonesia. (Zakia/Humas FBS)