National Seminar on Cultural Identity in Language, Literature, and Translation: Pentingnya Kajian Bahasa dan Budaya dalam Masyarakat Multilingual sebagai Identitas Kultural

FBS-Karangmalang. Sebanyak 200 peserta dari berbagai daerah di Indonesia mengikuti Seminar Nasional bertema Cultural Identity in Language, Literature, and Translation di ruang seminar Gedung Kuliah I FBS UNY, Kamis (20/10). Seminar menghadirkan pembicara Dr. Wang, Xin dari National University of Singapore, Dr. Junaidi dari Universitas Indonesia, dan Dr. Asruddin B. Tou dari Universitas Negeri Yogyakarta. Seminar ini dibuka Rektor UNY Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., M.A. dan dihadiri Dekan FBS Prof. Dr. Zamzani, M.Pd.

Dalam sambutannya, Rektor UNY memberikan apresiasi terhadap terselenggaranya acara ini, “Sudah sepatutnya kita memahami identitas budaya dalam kajian bahasa (Bahasa Inggris, red.).” Bagi Rochmat Wahab, pengaruh era global yang menggeser posisi bahasa Inggris sebagai identitas bangsa Inggris dan Amerika menjadi bagian dari identitas bangsa lain dengan dialek dan karakteristik yang disesuaikan dengan budaya masing-masing. Untuk itu, lanjutnya, ini saatnya kita mengekspresikan bahasa Inggris milik kita sesuai identitas budaya sendiri.

Dr. Wang, Xin menyambut baik adanya dialog dan diskusi melalui seminar ini. “Fenomena adanya masyarakat bilingual memang selalu menjadi kajian yang menarik,” ungkapnya. Dalam makalahnya yang berjudul Language Acquisition in Bilingual Society, Doktor lulusan Universitas Arizona ini menjelaskan bahwa masuknya bahasa asing yang mendampingi bahasa Ibu sebagai alat komunikasi memunculkan adanya fenomena diglosia dan bilingualism. “Namun, kajian bilingualisme dan diglosia ini masih prematur dalam second language acquisition, sehingga dunia akademik membutuhkan banyak peneliti yang melakukan riset-riset tentang isu-isu penting ini, terutama melalui pendekatan konstruksivisme sosial,” tandas Dr. Wang, Xin.

Hal senada disampaikan Dr. Junaidi tentang pendekatan sosial dalam kajian bahasa di bidang sastra. Ia mengatakan, sastra sepatutnya tidak hanya dikaji dari segi estetika namun juga dikaji melalui segi psikologi, sosiologi, formal, dan bibliografi. “Dalam sastra, terdapat nilai-nilai kultural yang memberikan data tentang pemahaman makna suatu informasi budaya, sehingga kita bisa mengontrol pengaruh budaya dan seberapa banyak kontrol yang dibatasi agar disesuaikan dengan budaya Indonesia,” jelasnya. Dr. Junaidi menambahkan, karena pada kenyataanya, kita tidak bisa keseluruhannya menggunakan bahasa Inggris sebagai bagian dalam mengekspresikan budaya kita. “Kita sangat berpegang teguh dengan Bahasa Indonesia, yang memiliki konsep bahasa dengan nilai budaya dan ideologi yang berbeda dengan bangsa barat,” jelasnya.

Seperti mengiyakan apa yang disampaikan pengajar sastra Inggris UI ini, Dr. Asruddin B. Tou juga mengungkapnya perlunya kehati-hatian menerjemahkan kosakata bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. “Perlu kita sadari bahwa dalam kata-kata, ada identitas kultural dan ideologi yang dibawanya,” tegasnya. Agar bahasa asing tetap menjadi ekspresi identitas bahasa Indonesia, Asruddin B. Tou mengajak kita perlu memperhatikan segi transaksional nilai budaya dalam proses menerjemahkan bahasa lain yang memiliki budaya dan ideologi berbeda. Ia memberikan penggambaran melalui penerjemahan kata sex commercial worker dalam bahasa Inggris dengan ‘pekerja seks komersial’ dalam bahasa Indonesia. Menurutnya, definisi worker menyiratkan ideologi dan nilai bangsa barat yang menyejajarkan kelompok tersebut dengan pekerja industri, padahal definisi kelompok tersebut berbeda dengan nilai dalam budaya Indonesia.

Masih Asruddin, “Jadi proses penerjemahan bahasa harus disesuaikan dengan konteks sosial, situasional, dan budaya tertentu, inilah yang disebut pengekspresian identitas budaya sendiri melalui bahasa.” (Febi)