Pementasan Dedes: Nareswari Pradya Paramita dalam Rangka HUT HIMA PBD

FBS-Karangmalang. Suara-suara erangan sahut-menyahut datang dari mulut empat orang penari laki-laki yang muncul dari dua sisi panggung.  Dibawah sorotan lampu hijau bercampur merah empat orang  penari laki-laki itu bergerak mendekati sosok wanita dalam balutan kain putih yang berdiri di bagian  tengah panggung yang agak tinggi dan sebuah keris raksasa berdiri gagah di belakangnya. Itulah pemandangan yang dijumpai di panggung pementasan Teater Modern berjudul “Dedes:  Nareswari Pradya Paramita” yang digelar dalam rangka malam puncak perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Himpunan Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta (Hima PBD FBS UNY) (16/5).

Mengadopsi kisah Arok-Dedes sebagai ide cerita, pementasan pada malam itu jauh dari kesan kadaluwarsa. Kisah yang dipentaskan mengalami proses transformasi hingga sampai pada penonton dalam bentuk yang sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.

Dikisahkan Dedes yang kesepian karena ditinggal pergi Arok yang sedang menuntut ilmu di tempat yang jauh mengalami kegalauan hingga mencoba melampiaskan hal tersebut dengan menjalin hubungan bersama pria lain yaitu, Tunggul Ametung lewat “dunia maya”. Twitter sebagai jejaring sosial yang sedang digemari oleh manusia pada masa modern ini sengaja dimasukkan ke dalam kisah yang dipentaskan pada malam itu.

Konflik bermula ketika Dedes dan Tunggul Ametung membuat janji untuk bertemu secara langsung. Dedes yang kecewa setelah melihat kondisi fisik Tunggul Ametung yang tidak sesuai dengan foto yang terpampang di Twitter, memutuskan untuk membatalkan janji pertemuan tersebut namun Tunggul Ametung yang sudah terpesona pada kecantikkan Dedes berinisiatif untuk menculik Dedes. Ketidaksabaran Dedes dalam mempertahankan hubungan jarak jauhnya dengan Arok menjadi konflik yang membalut kisah yang dipentaskan di Stage Tari tersebut.

Konflik yang ada dalam kisah tersebut sesungguhnya bukanlah hal baru. Faktanya banyak aksi kriminal yang terjadi berawal dari interaksi di dunia maya. Hal ini kemudian menginspirasi Ryco Vendy Aminity, mahasiswa PBD angkatan 2009 selaku sutradara untuk menuangkannya dalam pementasan Teater Modern tersebut.

Tidak hanya sebatas menyuguhkan sajian kesenian atau menyediakan sarana hiburan semata, pementasan tersebut mencoba menggambarkan hal besar yang terjadi pada masa kini. Hal ini dapat ditemui dalam pemilihan tokoh khususnya tokoh Dedes. Terdapat dua orang pemain yang berperan sebagai Dedes. Dedes yang dianggap sebagai simbol wanita sejati diperlihatkan dalam dua karakter yang berlawanan. Terdapat gambaran Dedes sebagai wanita yang terkontaminasi oleh pemahaman konsep emansipasi wanita yang dinilai salah kaprah dan gambaran sosok Dedes sebagai wanita masa kini yang masih mempertahankan kesejatiannya namun tertatih-tatih menghadang gempuran konsep emnasipasi wanita.

Hal senada pun diamini Ryco selaku sutradara. Diakuinya bahwa perayaan hari Kartini pada 21 Mei beberapa waktu lalu ikut mempengaruhi lahirnya ide cerita ini. “Saya melihat adanya pemahaman yang keliru dari sebagian wanita dalam memaknai konsep emansipasi wanita. Sebagian wanita pada masa kini salah kaprah dan menjadikan emansipasi wanita sebagai senjata untuk menyamakan dirinya dengan laki-laki. Mereka lupa akan kodratnya,” jelasnya.

Ia pun sempat menyinggung konsep emansipasi wanita yang diperjuangkan Kartini. Ia berharap pesan yang coba ia sematkan dalam pementasan tersebut dapat tersampaikan dengan baik. “Wanita boleh bersekolah setinggi-tingginya. Wanita boleh merintis karir. Wanita boleh melakukan apa saja namun tetap berpegang teguh pada kodratnya,” tambah Ryco. (Djwonga/Humasfbs)