Pluralitas Budaya demi Pendidikan Karakter

FBS-Karangmalang. Sabtu (12/11), FBS UNY kedatangan tamu dari berbagai daerah di Indonesia. Bertempat di Gedung Kuliah I lantai II, Forum Temu Sendratasik menyorot perhatian dari berbagai kalangan. Acara yang difasilitasi oleh FBS UNY kali ini mengundang 15 Perguruan Tinggi Negeri eks-IKIP, guru-guru seni budaya dari berbagai daerah, serta dosen dan mahasiswa/i. Lima belas Perguruan Tinggi yang dimaksud adalah UNY, UNJ, UPI Bandung, UNES, UNESA, UNIMA Malang, UNM Makasar, UNP Padang, UNIMED, UM Universitas Manado, UNILA Lampung, Universitas Ganesha Singaraja, Universitas Negeri Gorontalo, Universitas Negeri Palangkaraya, dan STKIP Banjarmasin.

Forum Temu Sendratasik ini diadakan dalam rangka saling asah-asih-asuh antar-sesama sivitas akademika Jurusan/Program Studi Pendidikan Sendratasik di seluruh wilayah Nusantara. Selain itu, forum ini juga ditujukan sebagai wadah sharing ilmu dan tukar pikiran antarsesama pendidik dan calon pendidik seni. Rangkaian acara yang termasuk dalam event kali ini adalah Seminar Nasional, Workshop Tari, Pertemuan Pimpinan Jurusan/Program Studi Tari, dan Pergelaran Tari.

Adanya kendala semakin tipisnya kepemilikan jati diri pada generasi muda dalam estafeta generasi dewasa ini menimbulkan pemahaman perlunya diadakan pendidikan dan pembelajaran dalam pendidikan karakter. Seminar Nasional dengan tema “Seni Berbasis Pluralitas Budaya Menuju Pendidikan Karakter” memiliki dua pemakalah kunci, yaitu Prof. Dr. Suminto A. Sayuti dari FBS UNY dan Juju Masunah, Ph.D dari FBS UPI. Sementara 12 makalah pendamping berasal dari dua sivitas akademika UNJ, satu sivitas akademika UNILA Lampung, satu sivitas akademika UNIMA Malang, dan delapan sivitas akademika FBS UNY. Seminar diawali dengan laporan panitia oleh Sumaryadi, M.Pd., yang kemudian dilanjutkan dengan pembukaan oleh Rektor UNY, Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd, M.A., penyajian Dolanan Anak oleh SD Model Sleman Yogyakarta yang digawangi oleh Sudarji, alumni Pendidikan Seni Tari FBS UNY, dan presentasi dari dua pemakalah kunci.

“Forum Temu Sendratasik 2011 ini diadakan dengan maksud untuk merumuskan model pembelajaran seni yang berbasis pluralitas budaya untuk mendorong terlaksananya pendidikan karakter yang efektif bagi para siswa dan untuk merumuskan model pembelajaran seni berbasis pluralitas budaya dalam rangka menghasilkan tenaga-tenaga kependidikan seni yang professional,” ujar Sumaryadi dalam laporannya.

Rektor UNY juga menyampaikan harapannya bahwa kajian terhadap substansi akademik dari seni dapat mengembangkan seni itu sendiri yang nantinya menjadi lahan bahas dan garapan baik sebagai cendekiawan maupun mahasiswa sebagai penimba ilmu.

“Jadilah pendidik seni, cendekia seni yang dapat berkontribusi dalam membangun hidup yang penuh kedamaian, kenyamanan, dan keindahan,” ajak Rochmat Wahab.

Rangkaian acara selanjutnya merupakan workshop tari dengan penyaji Daryono, M.Hum. Dosen ISI Surakarta ini membawakan materi yang berkaitan dengan tema workshop, yakni “Metode Vibrasi, Pernafasan, Suara, dan Gerak dalam Kepekaan Tubuh”. Lalu para pengurus jurusan/program studi tari dari berbagai Perguruan Tinggi melakukan pertemuan di Ruang Sekretariat PLPG Gedung Kuliah I FBS UNY. Pertemuan ini diselenggarakan dengan tujuan untuk tukar-menukar informasi kelembagaan dari Perguruan Tinggi masing-masing.

Serangkaian acara Forum Temu Sendratasik (Seni Drama, Tari dan Musik) ditutup dengan Pergelaran Tari yang dilaksanakan di Stage Tari Tejakusuma FBS UNY. Dalam pertunjukan kali ini, lima tarian disuguhkan kepada penonton yang memenuhi gedung pertunjukan. Tarian Golek Ayun-ayun menjadi pembuka pergelaran dengan mahasiswa/i Pendidikan Seni Tari FBS UNY sebagai pelaksana, dilanjutkan dengan mahasiswa UNESA yang membawakan tarian Arjuna, Universitas Gorontalo dengan tarian Dana-dana, tarian Ngaronggeng dan musik gamelan pengiring dari UNES, dan diakhiri dengan tari Ranasmoro dari UNY. Animo yang ditunjukkan oleh mahasiswa/i dan para apresian sangat tinggi mengingat kemeriahan acara yang disajikan.

Dalam kesempatan ini Prof. Dr. Suminto menegaskan bahwa kampus tanpa seni adalah kebun binatang merupakan bukti bahwa kebutuhan akan berekspresi dan berkesenian semakin tinggi. Hidup tanpa seni sama saja dengan sayur tanpa garam. Sayang sekali keberadaan seni di Indonesia belum memasuki tahap pokok. Seni masih merupakan sampingan, bukan prioritas utama. Seni belum menjadi “nasi” bagi sebagian masyarakat. Padahal, tanpa seni dan budaya hidup terasa hambar dan Indonesia tidak akan dikenal secara internasional. Jangan cuma menjadi orang yang pura-pura peduli pada seni dan budaya. “Mari kita lestarikan warisan-warisan asli Indonesia ini agar tetap ada sampai berjuta generasi yang akan datang!” ajak mantan Dekan FBS ini. (Nunggal)