PPG Turunkan Kredibilitas Universitas

Haryanto, M.Pd. dalam Audensi terkait Kebijakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) menerangkan bahwa setiap warga UNY baik prodi kependidikan maupun non-kependidikan berhak untuk mengikuti program PPG  (Pendidikan Profesi Guru). Ini bertujuan untuk menyaring SDM yang benar-benar mampu menjadi guru profesional. “Dulu untuk menjadi seorang guru, seseorang hanya perlu menempuh sekolah SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Seiring tuntutan zaman, standar menjadi guru dinaikan menjadi Diploma II, dan sekarang seorang guru harus bergelar S-1, dan tidak menutup kemungkinan terjadi kenaikan standar, atas alasan itu dilaksanakanlah PPG, sebuah proyek peningkat profesionalitas calon guru.” Ungkap Dekan FIP ini.

Guru professional adalah harapan bangsa ini untuk berlari menjauh dari keterpurukan menuju kemakmuran dengan cara menciptakan generasi-generasi yang  berdaya dan berkarakter mulia. Guru ibarat virus. Meloloskan guru yang buruk akan menginfeksi dan membuat yang sehat jatuh sakit dan si sakit jadi tambah sakit. Virus yang baik, akan menjadikan Indonesia  full kebaikan. Guru adalah multiplier factor  bagi sebuah fungsi, bernama fungsi kemajuan dengan variable utama waktu. Semakin besar nilai multiplier factor (guru) ia akan meningkatkan nilai kemajuan yang  berbanding lurus dengan waktu (meningkat seiring waktu).

Namun kebijakan sertifikasi guru yang hanya akan diberikan melalui program Pendidikan Profesi Guru (PPG) mulai tahun 2015 menimbulkan efek samping. Kebijakan ini member polemic bagi eksistensi kampus yang berbasis keguruan seperti IKIP PGRI, UNY, UNNES, dan UNJ. Meski Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY Kadarmanta Baskara Aji seperti dilansir sindonews.com berpendapat bahwa pelaksanaan PPG kedepan haruslah langsung diarahkan bagi alumni LPTK yang benar-benar ingin menjalani profesi sebagai guru, namun kebijakan ini nyatanya menurunkan kredibilitas universitas keguruan di mata masyarakat.

Kebijakan ini menunjukkan adanya ketidakpercayaan terhadap kualitas lulusan yang sudah diupayakan universitas. Padahal merujuk pada visi universitas dan visi PPG, terlihat ada kesamaan arah. Ditakutkan, PPG yang mengharuskan ‘sekolah lagi’ selama 2 semester ini hanya sesuatu yang mubazir, karena akan menghasilkan output yang sama. Di lain sisi, mahasiswa lulusan S1 dan D IV program keguruan akan dirugikan karena mereka harus mengikuti PPG kembali sebelum menjadi guru, padahal sudah menghabiskan pengorbanan yang tidak sedikit selama menempuh pendidikan di S1 atau D IV.Ada baiknya UU Guru dan Dosen Nomor 14/2005, PP Standar Nasional Pendidikan Nomor 19/2005, serta PP Guru Nomor 74/2008 ditinjau ulang. Jika masalahnya adalah tingkat profesionalitas guru yang perlu ditingkatkan, masih ada jalan lain seperti peningkatan kualitas pembelajaran dan kurikulum di kampus pendidikan, pelatihan-pelatihan (misal: PLPG) atau dengan mengikuti program kelanjutan S2 bidang pendidikan. Ini akan lebih solutif karena tidak menciptakan kemubaziran. (D. Wulandari&Humam/HumasFBS)