Resensi Buku: Pemberadaban Bangsa melalui Bahasa, Sastra, & Seni

FBS-Karangmalang. Narasi besar pergolakan kebudayaan Indonesia dekade terakhir mengalami kemerosotan tajam dalam berdialektika dalam ruang ilmiah. Padahal, Sutan Takdir Alisjahbana telah mengawali perumusan konsepsi kebudayaan baru Indonesia pascakemerdekaan yang sejarah menulisnya sebagai “polemik kebudayaan”. Setelah Takdir, kata Goenawan Mohamad, kebudayaan kita kering kerontang—sebab tak disirami lagi dengan perumusan lanjutan. Namun demikian, tesis yang disampaikan Goenawan Mohamad (seorang Pimpinan Redaksi majalah pimpinan Tempo dan juga penandatangan Manifest Kebudayaan) mulai runtuh; setelah sebuah buku berjudul “Bahasa, Sastra, & Seni (Sebagai Jalan Pemberadaban Bangsa)” yang memuat konsep pemikiran mutakhir hal ihwal kebudayaan terbit. Buku terbitan UNY Press (Desember 2014) itu memuat 30 tulisan ilmiah para dosen FBS. Buku setebal 366 halaman tersebut dibagi menjadi 3 BAB, yakni: BAB I Bahasa Indonesia dan Daerah Sebagai Jalan Pemberadaban Bangsa; BAB II Bahasa Asing: Sebagai Jalan Pemberadaban Bangsa; dan BAB III Seni dan Budaya Sebagai Jalan Pemberadaban Bangsa.
    Suminto A. Sayuti menulis esai pengantar dalam pembuka buku itu bertajuk “Bahasa, Sastra, dan Seni Sebagai Jalan Pemberadaban Bangsa”: Sejumlah tulisan yang ada dalam buku ini mengisyaratkan bagaimana bahasa, sastra, dan seni pada hakikatnya memiliki ruang-ruang terbuka bagi subjek-subjek yang berkehendak masuk dan terlibat dalam proses tertentu yang sifatnya dinamik: proses pemberadaban dan pembudayaan itu! (hal. viii). Sejalan dengan esai pengantar Sayuti, makna filosofi “kebudayaan” bergerak/berkembang terus mengikuti zaman secara dinamis. Proses panjang kebudayaan Indonesia tak terikat oleh ruang dan waktu. Meski demikian, dalam prosesnya kebudayaan itu tak terlepas dari intervensi yang lain, liyan, the others (subjek luar). Sejalan dengan itu, boleh jadi ada kelahiran kebudayaan baru hasil “kawin silang”. Namun, setelah itu muncul pertanyaan kembali: masih-kah ada kebudayaan luhur khas kita yang telah dirumuskan pendahulu bangsa? Oleh karenanya, buku ini menjawab pula pertanyaan itu dengan pelbagai alternatif pemikiran ihwal konsepsi kebudayaan yang diuraikan melalui elemen bahasa, sastra, & seni.
    Wacana kebudayaan Indonesia menjadi penting mengingat tingkat peradaban dan kebudayaan itu merupakan faktor yang menentukan harkat dan martabat suatu bangsa. Sementara itu, terbentuknya peradaban dan budaya yang unggul bergantung pada daya dukung yang diberikan para pewaris dan agen-agen kultural yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, baik dalam tataran kehidupan individual, sosial, maupun institusional (Sayuti, 2014: vii).
    Melalui jalan bahasa sebagai pemberadaban bangsa, Zamzani mengulas sumbangsih pemikirannya berjudul “Pengembangan Berpikir melalui Pembelajaran Bahasa”. Ia menyampaikan relasi bahasa, kebudayaan, dan pikiran yang tidak perlu diragukan. Dari bahasa yang digunakannya seseorang dapat ditebak kebudayaannya, nilai yang dianutnya, atau keyakinan agama yang dianutnya. Dari bahasanya pula seseorang dapat diketahui sopan santunnya, sikap terbuka tidaknya, jalan pikirannya, bahkan kejujurannya (Kawulusan via Zamzani, 2014: 7). Barangkali hal itu juga berakitan dengan ujaran yang seringkali disampaikan Chomsky—seorang linguis dan pegiat sosial-kebudayaan berkebangsaan Amerika—“The Power of Language”; sebab bahasa dapat mewartakan dunia dan memengaruhi bangsa (istilah lain mengatakan: bahasa mencengkram manusia).
    Buku ini menguraikan kebudayaan secara universal ke dalam kuasa parsial pembentuknya, termasuk elemen seni musik. FX. Diah K. menyampaikan ulasan menarik ihwal “Memahami Peradaban Seni melalui Estetika Musik” (hal. 253-263). Keindahan seni (estetis) merupakan bagian dari peradaban suatu bangsa. Kontribusi melalui tulisan Diah ini cukup menarik. Ia menyampaikan bahwa estetika seni musik merupakan salah satu disiplin pengetahuan manusia mengenai keindahan alam dan keindahan musik. Tentang rahasia “indah” itu, paparnya, dari waktu ke waktu tidak mampu dijawab oleh ilmu pengetahuan yang lain. Oleh karena objek estetikanya ialah gejala-gejala persoalan indah dan tidak indah, maka objek persoalannya adalah alam, karya manusia dan manusia itu sendiri. Pembahasan estetika non-verbal yang disampaikan oleh Diah ini merujuk pada konstelasi perkembangan musik di barat—dari masa filsuf Yunani “Plato dan Aristoteles” hingga masa renaisasns Eropa. Senada dengan Diah terkait dunia estetika (seni), Martono menyampaikan konsepsi ide tentang pendidikan seni. Seni perlu dijadikan ajang untuk “memerdekakan anak dalam berekspresi” (hal. 288).
    Rumusan ide yang sumbangkan oleh dosen FBS di dalam buku ini sangat relevan dengan kebudayaan Indonesia. Ada yang mengkritik pendahulu bangsa tentang rumusan kebudayaan yang “kebarat-baratan”; dan ada pula yang mengkonstruksi kembali lokalitas kebudayaan Indonesia dalam ikhtiar internasionalisasi kebudayaan. Sebaliknya, apabila harus menyebutkan kekuraangan buku ini, saya ingin menyampaikan satu hal saja: buku ini tak direkomendasikan oleh Kemendikbud yang tahun lalu menyelenggarakan konvensi kebudayaan Indonesia—yang acara itu melibatkan para seniman Indonesia, termasuk Radhar Panca Dahana. Saya membayangkan bahwa buku ini dapat menjadi acuan strategis pemangku jabatan di Indonesia dalam meneruskan estafet pemberadaban bangsa. (Rony/Humas FBS).
 

Tags: