Semar Menggugat Keadilan

Semar merasa amat terhina atas perbuatan Arjuna yang telah memotong kuncungnya untuk memenuhi permintaan Srikandi sebagai syarat pernikahan. Semar yang selama ini telah mengabdikan dirinya kepada kerajaan Astina pun murka. Ia bergegas ke Kahyangan menggugat keadilan untuk dirinya. Itulah yang terjadi di panggung pementasan “Opera Gamelan Drama Kembali Ke Asal, Semar Gugat” naskah karya N. Riantiarno (27/5).

Beragam sarana digunakan dalam penyampaian tiap adegan yang ingin disajikan kepada penonton yang telah memenuhi Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, alunan irama biola, gerak lincah wayang kulit, dan suara-suara dalang yang memenuhi ruangan pementasan, pesona pemain yang lihai memainkan perannya di atas panggung, dan gerakan-gerakan penari yang bersatu dalam balutan irama gamelan yang memukau.

Di sisi lain, Semar dengan kekesalan yang menguap-uap dalam hatinya menghadap dewa-dewa, “Keluar semua! Aku tahu kalian ada disini. Jangan sembunyi. Ini aku, Semar, ingin disambut dengan baik dan wajar, sebagaimana layaknya dewa senior. Berabad-abad, sejak ayahanda membuangku ke bumi, hanya hinaan yang kuterima. Muka dibikin jelek, aku terima. Badan jadi tembem, aku terima. Takdir melemparku ke kubangan got, mewajibkan aku supaya mengabdi kepada para satria dan jadi budak, itu juga aku terima. Tapi apa balasannya? Hinaan dan hinaan melulu”.

Keinginan Semar untuk membalas perbuatan Arjuna terhadapnya mewarnai pementasan tersebut. Sosok Semar yang merasa sangat dirugikan akibat permintaan Srikandi yang dianggap berlebihan tersebut merasa perlu memperjuangkan hak-haknya di hadapan dewa-dewa di kayangan. Permintaannya dipenuhi namun keadaan tidak banyak berubah. Ia justru disingkirkan tatkala berhadapan denga Arjuna.

Semar menjadi tokoh penting yang menjadi cerminan masyarakat sosial pada masa kini. Semar adalah simbol ketidakberdayaan rakyat kecil menentang kehendak penguasa. “Semar dalam pementasan ini merupakan simbol dari rakyat yang senantiasa tertindas. Rakyat yang tak punya kekuasaan untuk menentang suara penguasa,” tutur Windhi selaku Sutradara.

Pementasan yang berlangsung meriah itu menyedot banyak perhatian dari para penikmat teater. Ulil Azmi, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) mengaku sangat terhibur dengan pementasan tersebut. “Ini pementasan yang luar biasa. Meskipun latarnya istana sentris, penonton justru disuguhkan dengan hal-hal yang sedang trend saat ini misalnya jargon ‘demi Tuhan’ yang sedang heboh diperbincangkan masyarakat pada saat ini. Sangat kreatif dan menghibur,” tuturnya.

Pementasan ini merupakan hasil kerjasama antara komunitas Seni Lumbung Artema dan Sanggar Kesenian Kolaborasi (SANGKALA) sebuah komunitas yang menjelma menjadi sebuah unit kegiatan mahasiswa FBS UNY. Komunitas ini memiliki visi menciptakan iklim berkesenian yang produktif baik di dalam maupun di luar lingkungan FBS UNY. (Djwonga/Humasfbs)