Seno Gumira Ajidarma: Jurnalisme, Dunia Akademik, dan Sastra itu Harus Saling Berseteru

UNY-Karangmalang. Pengakuan Kopassus sebagai pelaku kriminal dalam peristiwa Cebongan menuai berbagai respon. Tak terkecuali Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebut pengakuan pasukan elit ini sebagai tindakan yang ksatria. Pujian keksatriaan ini lalu diunggah masyarakat dalam sikap mendukung tindakan Kopassus memberantas preman. Ini menjadi fenomena menarik ketika tindakan bermakna “ksatria” disematkan kepada penegak HAM yang melakukan pelanggaran HAM dalam menjalankan tugas.

Kasus makna ksatria dari tulisan Soni Siregar ini menjadi kata pembuka Penulis dan Jurnalis Seno Gumira Ajidarma dalam seminar Peran Jurnalisme, Sastra, dan Pendidikan dalam Membentuk Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional di Ruang Sidang Utama UNY (25/6). Sudah menjadi kegelisahan pemerhati bahasa Indonesia ketika ada kasus penggunaan kata yang berpotensi menggeser makna, apalagi mengeser nilai moral.

Menurut Seno, jurnalisme memiliki tanggung jawab moral untuk mengkonstruksikan bahasa sosial politik. “Media massa itu punya kuasa untuk mengarahkan masyarakat tentang nilai yang baik dan benar,” jelas Seno sambil mengenang perjuangan jurnalistiknya tentang Timor Timur yang terbungkam politik masa lalu. “Media massa itu dapat membentuk opini masyarakat jadi jangan asal-asalan memberitakan hal yang seru tapi tidak ada bobotnya. Itu salah,” ungkapnya tegas.

Pun ketika media massa mampu membentuk pola pikir masyarakat, seharusnya ada timbal balik oleh kaum intelektual, sehingga dinamika konsep bahasa tetap terjalin. “Karena bahasa itu membentuk kita dan dibentuk kita,” ungkap Seno. Untuk itu, doktor lulusan UI ini menekankan keterlibatan akademisi Bahasa Indonesia dengan kajian sosial politik. Menurutnya, kacamata akademisi begitu dibutuhkan untuk melihat bahasa yang berhubungan dengan perkembangan masyarakat. “Moso’ kata ksatria yang dipakai SBY lalu digunakan masyarakat membuat kata ksatria dalam KBBI ditambah maknanya, semisal ksatria adalah sikap pelanggar HAM yang berani mengakui pelanggaran HAM-nya?”, kelakar Seno. Untuk itu, ia mengajak akademisi agar tidak hanya mengekslusifkan kajian bahasa pada urusan linguistik semata, namun juga membuka diri dengan urusan etika sosial politik.

Di sisi lain, Seno mengakui bahasa itu memang dipengaruhi oleh kuasa. “Dan bahasa, dengan hakekat maknanya yang tidak tetap, menolak untuk diatur,” terangnya. Walaupun begitu, Bahasa Indonesia itu seperti buku terbuka yang dapat menampung berbagai kelompok yang memperjuangkan cara kebahasaannya. Untuk itu, ketika seandainya jurnalisme tidak dapat memenuhi peran moralnya—dengan mencuplik ungkapan terkenalnya—masih  ada sastra yang berbicara. “Fakta bisa saja ditutup atau tulisannya bisa saja tidak diperhatikan, tapi bahasa tertulis akan tetap abadi,” terang penulis trilogi Saksi Mata ini. (Febi/Humasfbs)