Suminto A. Sayuti: Menggugat Peran Strategis Pembelajaran Sastra

UNY-Karangmalang. Degradasi identitas nasional menjadi kegalauan bangsa di masa modern. Pesan pendidikan ‘melestarikan kebudayaan lokal dan bersikap selektif dengan kebudayaan luar’ seolah-olah hanya wacana. Pasalnya, masyarakat mengalami konflik ketika kebutuhan lokal bertemu dengan kebergantungan globalitas. “Lokalitas adalah jalan tengah agar konflik itu dapat diminimalkan, nilai eksternal dapat diidentifikasi, dan eksternalisasi lebih mudah dikendalikan,” ungkap Prof. Suminto A. Sayuti. Dosen, Sastrawan, dan Seniman ini menjelaskan pentingnya Indonesia kembali ke lokal dalam seminar Peran Jurnalisme, Sastra dan Pendidikan dalam Membentuk Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional (25/6).

Dalam makalahnya, Suminto menjelaskan bahwa lokalitas mestinya dipahami sebagai sebuah konsep kultural yang berpotensi untuk berbagi norma, nilai-nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Menurutnya, karya sastra dapat menjadi rumah belajar berbudaya untuk menjaga nilai-nilai lokal dan tradisi. “Dalam teks-teks sastra, sastrawan dapat mewujudkan rumah bersama tempat beragam lokalitas yang bertemu, berseteru, dan saling memperkaya,” jelasnya. Terlebih lagi, lokalitas-lokalitas tersebut di-‘rumah’-kan dalam Bahasa Indonesia sehingga muncul teks-teks kreatif yang menciptakan lokalitas yang konstruktif. Sebagai contoh, kehadiran tokoh wayang dalam karya Gunawan Muhammad, Umar Kayam, dan Sena Gumira dapat memberi persepektif baru tentang lokalitas yang sesuai dengan kebutuhan era sekarang.

Ada pula karya sastra yang mencirikan kekentalan lokalitas semisal keminangan, kejawaan, kesundaan, dan lainnya. Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, Para Priyayi Umar Kayam, dan Bulan Tertusuk Ilalang Zawawi Imron adalah karya sastra lokalitas yang juga bisa menjadi bahan pembelajaran. “Karya-karya itu mendeskripsikan nilai-nilai lokal yang menjadi landasan untuk mengakumulasi pengetahuan eksternal,” ungkap Suminto.

Untuk itu, mutlak mestinya siswa dan mahasiswa mempelajari sastra. “Pembelajaran sastra memiliki peran strategis untuk mengkonstruksi identitas nasional”, ungkap Suminto. Dengan sastra, siswa dan mahasiswa dapat lebih banyak belajar berbudaya dari apa yang seharusnya. Ia menyebutkan tiga hal yang didapatkan siswa dan mahasiswa dari belajar karya sastra, “Terbukanya ruang dan peluang untuk menggali prinsip dan nilai kebudayaan, menemukan hal-hal yang bermakna dalam komunitas budayanya, dan mendorongnya untuk membuka dan menemukan hal-hal baru.” Suminto membayangkan ke depan komunitas pembelajaran sastra menjadi manusia berpikir dan bertindak lokal namun berpengetahuan eksternal. Dengan cara demikian, identitas kebangsaan disadari sebagai identitas yang dinamik, tidak statis.

Menurutnya, justru yang harus diwaspadai adalah ‘kesetiaan’ yang terbatas pada kelompok sosial atau etnik tertentu, yang biasanya cenderung juga pada lokalitas daerah tertentu. “Sumbangsih sastra adalah menghilangkan superioritas ini sehingga warga, apapun etniknya, memiliki eksistensi yang setara demi terbentuknya masyarakat yang terbuka dan demokratis,” ujarnya. (Febi/Humasfbs)