Wisanggeni: Kebenaran yang Terbungkam

FBS-Karangmalang. Kehadiran seorang anak dalam rumah tangga tentu merupakan berkah tersendiri bagi pasangan suami istri. Kehadirannya dianggap sebagai berkah bagi keluarga namun hal berbeda justru terjadi dalam pementasan “Wisanggeni” (28/06).

Panggung pementasan Stage Tari Tedjokusumo, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (FBS UNY) nyaris kosong tanpa properti yang berlebihan. Di tengah panggung hanya terdapat sebuah trap yang lebih tinggi dari panggung. Tampak di sisi kiri dan kanan dua buah gunungan berhiaskan ilustrasi yang didominasi warna merah. Dibawah cahaya lampu berwarna merah pula panggung pementasan seolah berubah menjadi lautan api.

Tiga orang penari laki-laki yang melangkah tertatih-tatih sambil memikul tiga gunungan diatas pundaknya memasuki panggung. Dalam balutan kostum berwarna hitam suasana mencekam memenuhi Stage Tari. Suasana tersebut berubah ketika Dewi Dresnala yang tak henti-henti mengelus perutnya muncul dari sisi kiri panggung. Aura bahagia nampak menyelimutinya. Pasalnya di dalam rahim wanita itu telah hidup bayi laki-laki yang kelak oleh para Dewa ditolak kehadirannya karena dinilai akan mendatangkan malapetaka. Akhirnya demi menuruti titah para Dewa, Bopo yang tak lain adalah ayahanda Dewi Dresnala rela membuang cucunya.

Namun takdir berkehendak lain. Bayi kecil tak berdosa tersebut ternyata mampu bertahan hidup dan beberapa tahun kemudian ia menjelma menjadi seorang pemuda gagah yang bernama Wisanggeni. Dan perjalanannya untuk mengungkap misteri perihal kedua orang tuanya pun dimulai. Wisanggeni mendatangi para Dewa. Ia memaksa mereka untuk menjelaskan tragedi yang menimpa dirinya namun bukanlah kebenaran yang ia dapatkan melainkan perlakuan kasar. Kebenaran yang ia inginkan tetap menjadi sebuah misteri di tangan para Dewa yang berkuasa.

Ketidakbijakan para penguasa dalam mengambil keputusan seolah menjadi kritikan yang ingin diangkat dalam lakon Wisangeni dan keberanian Wisanggeni dalam memperjuangkan kebenaran patut dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari. Hal senada diamini oleh Berry Sanjaya selaku sutradara, “Dalam proses pencarian jati diri dan kebenaran, keberanian memang sangat diperlukan dan Wisanggeni adalah contoh yang perlu kita teladani,” tuturnya.

Pementasan Lakon Wisanggeni ini diselenggarakan komunitas teater Sanggar 28 TERKAM AKPRIND bekerja sama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa Fakultas (UKMF) Sanggar Kolaborasi (SANGKALA) FBS dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) SANGGAR 28 TERKAM yang ke-19. (Djwonga/Humasfbs)