Prof. Dr. Suminto A. Sayuti

Jagat artistik seorang seniman ditentukan oleh sejumlah hal, di antaranya adalah jagat yang mengkondisikannya, sangkan-paran sosial yang bisa dilacak, pandangan yang diyakini, dan partikularitas diri yang terwujud secara idiosinkratik. Teks-teks seni modern, baik yang berupa sastra, lukisan, repertoar, musik maupun tari, pada dasarnya selalu bersifat paradoksal: berkembang dalam transisi dari tradisi budaya (lisan) yang komunal ke budaya (tulis) yang personal. Situasi semacam itu makin mengedepan tatkala diletakkan dalam perspektif perubahan yang terjadi begitu cepat akibat globalisasi dan pencanggihan teknologi.

Bagi seniman, melepaskan dan melupakan berbagai sikap dan nilai budaya yang telah lama mengakar niscaya bukan pilihan yang gampang dalam situasi transisional. Karenanya, dapat dipahami ketika seniman berpandangan bahwa proses penciptaan karya bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilalui karena proses tersebut akan menjadi sebuah pengembaraan baru, yang dalam bahasa Putu Wijaya (2007), "selalu tertantang sehingga tak ada saat untuk tidak menyala."

Sebagai salah satu perwujudan kesadaran senimannya dalam tataran personal, dan perwujudan kesadaran masyarakat pemiliknya ketika seniman menempatkan dirinya sebagai subjek kolektif, teks-teks seni memang cenderung selalu melawan berbagai bentuk abstraksi dan generalisasi, agar partikularitas dan identitas diri dapat diwujudkan secara idiosinkratik. Alasannya, abstraksi dan generalisasi akan memandulkan kreativitas dan memajalkan kepekaan. Oleh

karena itu, kesan dan pengalaman sejati seniman yang bersifat personal yang diperoleh dalam pergulatannya dengan kenyataan sosial yang komunal hampir selalu langsung dijadikan objek tatapan mata-batinnya tatkala memasuki proses penciptaan.

Proses tersebut selalu menolak kemutlakan, tetapi tidak harus kehilangan kesadaran partisipatif dalam melandasi tindakan normatif. Seniman tetap menjaga kesadaran semacam itu, yakni keberjagaan batin terhadap realitas kehidupan sebagai sebuah keseluruhan yang tidak terserpih-serpih. Teks seni pun menjadi sebuah "pandhapa agung," sebuah ruang besar yang di dalamnya berbagai bentuk perwujudan pengalaman kemanusiaan digelar. Dengan demikian, seni pun menjadi sarana empati bagi siapapun yang mampu memaknai pengalaman dan tindakan kemanusiaan yang bersifat eksistensial. Artinya, hakikat gejala artistik merupakan keseluruhan pengalaman manusia yang bersumber dari realitas kehidupan, yakni sebagai hasil dari proses dialektik yang melalui dan di dalamnya sang subjek seniman maupun khalayaknya tidak terpisahkan: dari dan berada dalam kehidupan nyata sebagai tempat tinggal bersama. Teks-teks seni pun menjadi sebuah gelanggang yang didalamnya konstruksi identitas meniscayakan diri, yakni ketika subjek-subjek yang terlibat di dalamnya-seniman dan khlayak menjadi tak terpisahkan karena berada dalam relasi resiprokal. Dengan demikian, seni apa pun pun bisa diamati, ditafsir, dan dinilai bagi dirinya sendiri secara objektif pada satu sisi, sedangkan pada sisi lain, ia memperoleh signifikansi, nilai, dan relevansinya yang dapat dimanfaatkan dalam kaitannya dengan keseluruhan kehidupan.

"Jagat-seni" mampu menyuguhkan nilai emosional sejati, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan menjadi lebih berbudaya dan berperadaban. Terwujudnya demokratisasi budaya pada dasarnya juga tidak bisa dipisahkan sama sekali dari sumbangan yang diberikan oleh teks seni dan jagat artistik yang dibangunnya. Hingga masa tertentu, bahkan hari ini, bagi sejumlah orang, teks-teks seni merupakan sumbu yang melaluinya

nilai-nilai dan pengetahuan tertentu dinyalakan, di samping sebagai sumber kesenangan yang tak pernah kering.

Akan tetapi, tatkala budaya perkakas dan piranti datang menyergap, beragam "narasi pemikiran" yang menuntut pengalaman hidup partikular dan eksistensial tidak lagi disimpan dalam teks-teks seni, tetapi disimpan dalam mesin-mesin yang tidak lagi memberdayakan tetanda dan satuan-satuan lingual yang selama ini dikenal sebagai sarana artistik. Karena homogenitas dan universalitasnya, cara komunikasi ekspresif semacam itulah yang kini dipandang lebih efektif dan efisien. Hiburan bagi semua orang, terlebih-lebih anak-anak, telah dan agaknya akan terus dikerjakan dan diperoleh melalui proyektor, layar monitor, speaker, dan tape. Tentu saja hal ini akan memunculkan kecemasan tertentu. Karena apa, karena budaya perkakas lebih mudah dikendalikan, dimanipulasikan, dan didegradasikan oleh kekuasaan. la berbeda dengan bahasa seni, misalnya saja dalam hal kerahasiaanya menyampaikan pesan-pesan dan tanda-tanda keabadian mengenai hati nurani manusia lewat imaji-imaji dan simbol-simbol artistik. Teks-teks seni sering mewujudkan dirinya sebagai benteng terakhir kebebasan dalam sebuah perlawanan budaya.

Dalam jebakan dan telikung budaya perkakas, masyarakat dan pribadi- pribadi yang berada di dalamnya bisa menjadi masyarakat dan pribadi robotik: kelu dan dungu. Karena, tidak seperti teks-teks seni, produk budaya perkakas cenderung membatasi imajinasi dan merampok partikularitas. Pemikiran semacam ini bukanlah perwujudan alergi pada budaya perkakas. Juga bukan merupakan sebuah "tangisan romantis" dan pernyataan belasungkawa atas terancamnya eksistensi teks-teks seni umumnya. Yang jelas, pengaruh produk budaya perkakas tidak pernah sebanding dengan jagat artistik dalam hal pengaruhnya pada kejiwaan manusia.

 

Teks-teks seni pada hakikatnya merupakan perwujudan gugusan gagasan yang bersifat terikat budaya (culture-bound), yakni secara langsung diderivasikan dari dan dalam konteks kehidupan nyata. Derivasi itu bisa saja literal dan langsung, atau bisa juga hanya simbolis dan imitatif. Karenanya, gagasan atau nilai tematis seni apapun senantiasa merefleksikan karakter tematis eksistensi manusia. Karena itu, dalam perspektif Aristotelian, seni bersifat mimesis: menjadi sebuah upaya menyusun problem tematis yang memantulkan cara kemanusiaan kita hidup, berisi serangkaian proyek eksistensial untuk memecahkan konflik nilai atau gagasan kultural secara terus-menerus. Oleh karena itu, pemahaman terhadap seni berakar dalam matriks kultural.

Seperti sudah dikemukakan, titik berangkat atau sangkan-paran sosial- budaya seniman modern kita adalah masyarakat tradisional yang diarahkan oleh seperangkat gagasan dan nilai kultural yang berbeda dengan tema kultural masyarakat industrial-global. Konsekuensinya, penerimaan salah satu gagasan akan mengarahkan penolakan terhadap yang lain, dan realisasi penolakan tersebut bisa saja menuntut penerimaan yang berikutnya. Gagasan atau nilai budaya yang berbeda bisa saja saling melengkapi, tetapi bisa juga saling berlawanan. Dalam berbagai bentuk yang berbeda, gagasan atau nilai kultural tertentu mampu memainkan dirinya melawan yang lain. Inilah yang disebut esensi konstruksi identitas ketika jagat artistik diperhitungkan sebagai sebuah medan, dan identitas dipahami sebagai ciri hakiki yang menjadi basis seseorang atau masyarakat dalam menyikapi sesuatu yang lain di luar dirinya.

Masuknya beragam nilai yang berasal dari "luar" melalui beragam piranti modern, sebagai akibat yang tak terhindarkan dari proses global, telah memberi warna tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya karena nilai-nilai tersebut acapkali bertentangan dengan nilai yang sudah lama terinternalisasi dan diyakini. Pergeseran yang terus-menerus, pecah dan bercabangnya pandangan dunia (masyarakat dan sub-submasyarakat), dan dislokasi, menjadi keniscayaan budaya

yang tidak bisa dihindari. Proses persemukaan, persinggungan, dan "persetubuhan" budaya yang tengah dan akan terus terjadi tersebut benar-benar akan menjadi sesuatu yang membahayakan apabila kita tidak memberikan peluang atau kemungkinan perubahan di dalam sistem dan mekanisme kebudayaan dalam konteks kebangsaan. Bukankah sesuatu akan menjadi langgeng bilamana dirinya terbuka bagi perubahan dan pembaharuan. Oleh karena itu, yang penting bagi kita kini ialah berpikir dan bertindak strategis, bagaimana merancang dan melaksanakan berbagai upaya yang muara akhirnya terletak pada terkonstruksinya identitas yang memiliki kekenyalan dalam menghadapi dan memasuki berbagai proses tersebut. Dalam hubungan inilah nilai-nilai lokalitas yang mengepung seniman menjadi relevan.

Dalam tata pergaulan dan tegur sapa global, apapun bentuk dan wujudnya, nilai-nilai lokalitas (etnis ataupun trans-etnis) dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai "paspor utama" seniman dalam mengkonstruksi identitas melalui jagat artistik. Menjadi modal karena dengan dan melaluinya seniman dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada "yang lain." Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan "yang lain," yang bukan dirinya, liyan, the others. Pengakuan "yang lain" atas nilai-nilai itu merupakan "paspor," yang melegitimasi bahwa secara kultural para seniman sah bergaul dan berposisi setara. Proses berelasi dan berinteraksi dengan "yang lain" itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai secara tak terhindarkan. Dalam kaitan ini, nilai-nilai lokalitas berfungsi sebagai benteng.

Ketika muncul kesadaran bahwa yang lokal selalu menjadi korban marginalisasi sehingga terpinggirkan, seluruh masyarakat (etnik) yang ada merasa perlu meredefinisi diri sendiri dan budayanya. Bagi seniman, persoalan kembali memasuki "kandang" budaya lokal, di satu sisi, dapat diperhitungkan sebagai dasar bagi upaya mengkonstruksi identitas. Hanya saja, lokalitas bisa saja memunculkan paradoks di sisi lainnya, yakni ketika ia ditafsirkan secara linear bahwa kita akan hidup di masa depan, bukan di masa lalu. Bahkan, ketika proses

ini menjadi eksklusif, ia menjadi tantangan tersendiri karena yang terkonstruksi bukan lagi identitas bersama dalam konteks trans-etnis/lokal. Oleh karena itu, pilihan orientasi hendaknya bersandar pada kesejatian fitrah manusia sebagai pelaku yang sadar untuk bertindak mengatasi dunia dan realitas yang (mungkin) memusuhi dan menindasnya, yang secara keseluruhan berada dalam bingkai kebersamaan dengan liyan (yang lain, the other). Konsekuensinya, kesadaran terhadap sistem dan mekanisme budaya lokal dan translokal tetap dipelihara dan dikembangkan bersama, menjadi bagian dari kesadaran dalam diri selama menempuh proses kreatif. Para seniman tetap menjaga kesadarannya bahwa persilangan dialektis antara liyan dan dorongan untuk mencipta dan mencipta ulang identitas lokal yang independen dalam suatu proses transformasi yang berkesinambungan menjadi imperatif untuk dilaksanakan. Tujuannya adalah ikut berpartisipasi menyiapkan sebuah habitat agar subjek-subjek yang terlibat di dalamnya mampu menghayati nilai lokal, dan sekaligus mampu membuka ruang tegur-sapa dengan liyan dalam dirinya: untuk menjadi lokal sekaligus translokal. Pendek kata, agar masyarakat memiliki kekenyalan budaya yang memadai.

Persoalan nilai lokal dan translokal tersebut memang memunculkan dilema di hadapan seorang seniman, apalagi dalam kaitannya dengan nilai transnasional: apakah nilai-nilai yang ada itu akan diolah secara kreatif, dalam arti didialogkan dengan nilai "yang lain," melalui rekonsiliasi tertentu (keseimbangan, subordinasi, atau eliminasi). Atau, ia dimanfaatkan begitu saja sehingga terjadi homogenisasi nilai dan sekaligus dominasi atas nilai yang lain, bahkan penghapusan. Berdasarkan pengamatan terhadap sejumlah teks artistik, pilihan apapun yang diambil seniman, tampak bahwa situasi polifonik dan multikultural tetap menjadi pilihan kecenderungan yang utama. Agaknya, para seniman memang tidak ingin kehilangan kesadaran partisipatifnya dalam melandasi tindakan normatif khalayak. Jagat artistik yang diciptakan pun meniscayakan tersedianya ruang dan peluang bagi partisipasi penuh dan interaksi yang terbuka bagi semua unsur masyarakat yang beragam.

Dalam konteks butir-butir di atas, pendidikan seni dapat diposisikan secara strategis. Artinya, pendidikan itu secara keseluruhan hendaknya dimaknai sebagai proses pembudayaan, dan bukannya sebagai "pembuayaan" dan penjinakkan sosial-budaya. Pendekatan multikultural --yang menghindari sifat satu arah, kognitif, dan eksklusif; juga menghindari superioritas, primordialisme, dan eksklusivisme nilai tertentu-- merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Melaluinya, pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama diupayakan, potensi nilai yang bersifat trans- dicahayakan. Nilai tenggang rasa antarsesama dijadikan dasar utama, di samping keserbanekaan keyakinan, tradisi, adat, dan budaya ditempatkan sewajar-wajarnya melalui tegur-sapa yang ramah. Semua itu dapat terlaksana apabila "materi-materi" dalam konteks pendidikan dan pembelajaran seni diperhitungkan sebagai "rumah" pengalaman kemanusiaan kita. Dalam dan melalui "materi-materi" itu, kita "merumahkan" pengalaman-pengalaman kita yang tidak pernah singular.

Ketika teks-teks seni ditautkan dengan, dan diintegrasikan dalam pendidikan, terdapat tiga alternatif yang dimungkinkan. Pertama, pendidikan tentang seni. Alternatif ini menempatkan teks seni sebagai subjek dan objek kajian. Teks seni dipelajari dalam satu jurusan atau program studi khusus, tentang budaya dan untuk budaya. Dalam hal ini, teks seni tidak terintegrasi dengan disiplin keilmuan lain. Kedua, pendidikan dengan seni terjadi pada saat teks seni diperkenalkan kepada peserta-didik sebagai cara atau metode untuk mempelajari suatu konsep tertentu. Belajar dengan seni meliputi pemanfaatan beragam hal yang inheren di dalamnya sebagai karya budaya: menjadi media pembelajaran dalam proses belajar, menjadi konteks dari contoh-contoh tentang konsep atau prinsip dalam suatu mata pelajaran, serta menjadi konteks penerapan prinsip atau prosedur dalam suatu mata pelajaran. Ketiga, pendidikan melalui seni merupakan strategi yang memberikan kesempatan kepada peserta-

didik untuk menunjukkan pencapaian pemahaman atau makna yang diciptakannya dalam suatu mata pelajaran melalui beragam perwujudan karya budaya yang berbasis teks seni tertentu. "Produk-produk" budaya yang diwujudkan peserta-didik dapat diperhitungkan untuk melihat seberapa jauh peserta-didik memperoleh pemahaman proses tertentu, dan seberapa besar kreativitasnya dalam rangka pencapaian kompetensi tertentu.

Karena teks-teks seni merupakan perwujudan gugus-gagasan kemanusiaan, perkenalan dan persentuhan peserta-didik dengannya memungkinkan mereka belajar lebih banyak dari apa yang seharusnya. Dengan teks seni, peserta-didik tidak hanya belajar tentang mata pelajaran tertentu, tetapi juga tentang budaya komunitasnya - termasuk miskonsepsi yang inheren di dalamnya. Apalagi jika penciptaan teks seni tertentu bertolak dari kepentingan agama, maka ia pun menjadi "gapura-agung" bagi nilai-nilai kehidupan yang universal.

Sebagai medan eksplorasi kemanusiaan dan kontruksi identitas, fokus perhatian pelaksanaan pendidikan seni yang selalu tekstual seharusnya diubah dari teks ke khalayak/peserta didik. Teks seni pun menjadi sebuah pengalaman dan tidak berhenti sebagai objek, dan khalayak/peserta didik bukanlah konsumen, melainkan peraga aktif yang membawa teks-teks yang dihadapinya itu ke dalam kehidupan pikirannya. Oleh karena itu, "repertoir" atau "bingkai ekstratekstual" yang mereka bawa tatkala berhadapan dengan teks-teks tertentu akan berpengaruh terhadap pemaknaan. Latar belakang pengalaman dan pengetahuannya terlibat dalam penyusunan makna teks. Mereka "memanggil kembali" skema internal yang telah mereka miliki dan mengoperasikannya tatkala berhadapan dengan teks dalam rangka pemahaman. Pendek kata, mereka melakukan transaksi tekstual. Lewat "transaksi-transaksi"-nya dengan teks, makna disusun dalam rentangan kemungkinan yang disediakan oleh teks: terdapat "konstruk baru," makna baru yang disusun berdasarkan atas serpihan teks yang digelutinya.

Transaksi itu pada hakikatnya merupakan konversasi atau dialog terus- menerus, sebuah negosiasi antara apa yang diketahui khalayak dan apa yang disajikan teks. Dengan demikian, proses itu meniscayakan pergeseran dari makna yang didasarkan pada teks, meaning-getting, ke meaning-making. Dalam praksis pembelajaran, para peserta didik dapat dibantu untuk mengajukan pertanyaan secara aktif dan, jika diperlukan, menyanggah teks: mereka dibawa masuk ke dalam situasi "perseteruan" dengan teks yang sedang dihadapinya. Hal ini antara lain dapat dilakukan melalui cara-cara: (1) Memformulasikan teka-teki mereka sendiri dan bukannya menjawab pertanyaan pengajarnya; (2) Melakukan spekulasi dan merumuskan hipotesis. Cara ini merupakan aktivitas yang diarahkan melalui metode-metode pengajaran tertentu, yakni metode yang menghindarkan diri dari sifat memberikan hukuman jika peserta didik melakukan kesalahan (menurut versi pengajar); (3) Mencocokkan ideologi-ideologi tekstual dengan ideologi yang dimiliki para peserta didik, misalnya saja dengan mengajukan pertanyaan "Siapa yang berbicara, kepada siapa, kapan, di mana, mengapa?" "Desain apa yang dimiliki teks ini menurut pendapat saya, seharusnyakah saya menentang dan berseteru dengannya?"

Lereng Merapi: 25 Februari 2014