SATUAN LINGUAL PENANDA GENDER DALAM BAHASA JERMAN DAN INDONESIA

Oleh: Dr. Sulis Triyono, M.Pd
1. Pendahuluan
Bahasa sebagai suatu sistem memiliki seperangkat subsistem yang masing-masing mengorganisasikan komponen-komponennya sehingga membentuk keteratur¬an yang sistemik. Perangkat subsistem yang dimaksud adalah mulai dari perangkat subsistem bunyi, subsistem gramatikal, dan sampai pada perangkat subsistem semantis atau makna. Masing-masing perangkat subsistem itu memiliki unsur-unsur yang terorganisasi untuk membentuk subsistemnya sendiri-sendiri. Unsur-unsur subsistem ini yaitu fonem sebagai satuan lingual yang terkecil sampai dengan wacana sebagai satuan lingual yang terbesar. Satuan lingual tersebut memiliki fungsinya masing-masing. Satuan lingual itu ada yang berfungsi sebagai penanda number ‘jumlah‘, penanda tenses ’kala‘, ada yang berfungsi penanda mood ‘modalitas’, dan ada pula yang berfungsi sebagai penanda gender ’jenis kelamin‘. Satuan lingual penanda gender dalam bahasa Jerman dan Indonesia berbentuk nomina. Gender dalam bahasa akan berpengaruh terhadap perubahan bentuk lingual. Perubahan bentuk lingual mengalami proses derivasi dan deklinasi.
Dengan demikian, kajian terhadap persoalan gender pada bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ini menjadi menarik untuk diteliti. Hal tersebut memperkuat alasan pentingnya penelitian tentang gender untuk dilakukan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, masalah-masalah yang dikaji pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Jerman ditinjau dari berbagai tataran linguistik, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon? (2) Bagaimanakah bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Indonesia ditinjau dari berbagai tataran linguistik, seperti tersebut pada butir 1  di atas? (3) Bagaimanakah persamaan dan perbedaan lingual penanda gender antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia? Dan (4) Apakah terdapat alasan yang menjadi penyebab munculnya lingual penanda gender dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ditinjau dari berbagai tataran  linguistik tersebut?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Jerman ditinjau dari berbagai tataran linguistik, seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon; (2) bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Indonesia ditinjau dari berbagai tataran linguistik, seperti tersebut pada butir 1  di atas; (3) persamaan dan perbedaan lingual penanda gender antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia; dan (4) penyebab munculnya lingual penanda gender dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ditinjau dari berbagai taran linguistik.
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan: (1) kontribusi terhadap perkembangan ilmu linguistik, terutama pada bentuk-bentuk lingual penanda gender yang ditinjau dari berbagai tataran linguistik, (2) sumbangan pemikiran terhadap adanya sistem kesemestaan bahasa melalui kemiripan bentuk lingual bahasa Jerman dan Indonesia, (3) pembelajaran bahasa Jerman bagi penutur bahasa Indonesia dan sebaliknya memberikan pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur bahasa Jerman.

2. Landasan Teori
Para linguis yang telah melakukan kajian mengenai gender telah cukup banyak, baik tentang bahasa dan jenis kelamin, bahasa dan gender, dialek gender, dan artikulasi gender. Namun demikian, pengkajian yang memfokuskan pada satuan lingual sebagai penanda gender belum banyak dilakukan. Terdapat paradigma yang mendasari adanya pandangan tentang lingual penanda gender. Hal ini berangkat dari kajian tentang bahasa dan masyarakat penuturnya. Bahasa dan masyarakat selalu berhubungan, satu dengan yang lain saling mempengaruhinya. Perkembangan bahasa dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat penuturnya. Demikian pula sebaliknya, masyarakat dipengaruhi oleh perkembangan bahasanya. Hubungan antara bahasa dan masyarakat bersifat dua arah ‘bi-directional’. Bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Pandangan ini menguatkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dengan struktur masyarakat dan sebaliknya, seperti yang dikatakan Wardhaugh (1986).
Selain Wardhaugh (1986), para linguis yang telah meneliti mengenai hubungan timbal balik antara masyarakat dan bahasa antara lain: Engel (1988), Fasold (1990), Helbig-Buscha (1991), Holmes (1992), Eisenberg (1994). Tannen (1996), Talbot (1998), Diaz (2003), dan Irmen (2006). Para linguis tersebut memfokuskan penelitiannya pada masalah gender dan pemakaian bahasa oleh penuturnya. Bentuk lingual penanda gender dapat terjadi pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon seperti yang dikatakan Eckert & McConnel (2003).

3. Penanda Gender dalam Bahasa Jerman
Gender dalam bahasa Jerman berupa nomina. Gender dalam bentuk nomina berasal dari artikel. Artikel ini berkaitan erat dengan nomina yang menjadi pasangannya. Oleh karena itu, artikel tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi satu rangkaian dengan nomina yang dilekatinya. Penanda gender dalam bahasa Jerman dapat dikelompokan menjadi 3 macam, yaitu (1) penanda yang berasal dari morfem, (2) penanda yang berasal dari artikel, dan (3) penanda yang berasal dari nama diri seperti yang dikatakan Engel (1988).
a.  Penanda gender tataran morfologi
Penandaan gender dapat berupa sufiks seperti {–agoge}, {–and}, {–aner}, {–ant}, {–ar}, {–är}, {–at}, {–er}, {–ent}, {–eur}, {–iker}, {–ismus}, {–ist}, {–ling}, {–ologe}, dan {–or} untuk menandai maskulin. Sufiks {–age}, {–anz}, {–at/ur}, {–e}, {–ei}, {–enz}, {–erie}, {–esse}, {–ette}, {–euse}, {–heit}, {–igkeit}, {–ie}, {–ik}, {–in}, {–ion}, {–ität}, {–itis}, {–schaft}, {–ung},   {–nis},  {–ich}, dan {–ig} menandai feminin. Sufiks {–at}, {–chen}, {–ement}, {–e}, {–en}, {–gut}, {–icht},  {–lein}, {–nis}, {–tum}, {–werk}, {–zeug} menandai gender netral. Hal ini seperti yang dikemukakan Engel (1988). Di samping itu, penanda gender dapat berasal dari artikel, seperti artikel der penanda maskulin, die penanda feminin, dan das penanda netral. Penanda gender yang berasal dari nama diri seperti nama hasil tambang, sumber daya alam, dan mineral, dan batu mulia, bergender maskulin. Nomina mata uang merupakan penanda maskulin. Nama merk kendaraan bermotor penanda gender feminin, sedangkan merk kendaraan bermotor beroda empat atau lebih merupakan penanda gender maskulin. Nama arah mata angin penanda gender maskulin. Nama angin penanda gender feminin.
b.  Penanda gender tataran sintaksis
Frasa dalam bahasa Jerman terdiri atas frasa nominal, frasa adjektival, frasa partisipial, frasa preposisional, frasa partikel, dan frasa pronomina. Konstruksi frasa dalam bahasa Jerman dapat berbentuk (1) atribut+nomina, (2) atribut+ nomina+genetif, (3) atribut+nomina+ preposisi (4) nomina+genetif, dan (5) preposisi+nomina+verba.
c. Penanda gender tataran leksikon
Semua nomina dalam bahasa Jerman memiliki penanda gender. Nomina ini dapat dibentuk dari gabungan dua kata atau lebih menjadi satu kata baru. Pembentukan kata dapat dilakukan dengan cara afiksasi, yaitu penambahan morfem pada kata intinya. Cara ini dalam bahasa Jerman disebut Wortbildungsmorphem. Hasil pembemtukan kata tersebut akan berpengaruh terhadap penanda gender.
4. Penanda Gender dalam Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia tidak memiliki sistem penanda gender. Kalaupun di dalam bahasa Indonesia dapat ditemukan bentuk penanda gender, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh serapan bahasa asing yang masuk ke dalam bahasa Indonesia. Bahasa asing yang berpengaruh terhadap penandaan gender ke dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa Arab, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris.
Morfem {-a} pada kata putra menandai gender maskulin, sedangkan morfem {-i} pada kata putri menandai feminin. Morfem tersebut terletak pada posisi akhir sebuah kata. Kata yang dapat menandai adanya gender bersifat tidak produktif dan hanya terdapat pada kata-kata tertentu, seperti kata dewi dapat dijadikan penanda gender feminin. Dipasangkan dengan kata dewa yang bermakna sebagai penanda maskulin. Hal senanda berlaku untuk pasangan kata muda >< mudi, pemuda >< pemudi, putra >< putri, pramugara >< pramugari, bhayangkara >< bhayangkari. Sufiks {–wan} pada kata wartawan, {–at} pada hadirat, {–or} pada proklamator, {–us} pada promovendus, {–an} pada laboran, {–ur} pada aparatur dapat dijadikan sebagai penanda maskulin. Sufiks {–wati} pada wartawati,     {–in} pada mukminin, {–ah} pada da’iyah sebagai penanda feminin. Adapun yang bersifat netral seperti {–nis} pada pianis, {–is} pancasilais dan {–man} pada budiman.
Dalam bahasa Indonesia penyebab munculnya penanda gender akibat konstruksi lingual yang berasal dari unsur serapan kata asing, seperti: (1) bunyi vokal /-a/ menandai gender maskulin dan bunyi vokal /-i/ menandai adanya gender feminin. Hal ini jumlahnya terbatas sehingga tidak bersifat produktif; dan (2) sufiks {-wan}, {-wati}, {-man}, {-at},  {-in}, {-ah},  {-or}, {-is},  {-nis}, {-er}, {-en}, {-us}, {-ir}, {-an}, {-ur} sebagai penanda gender.

5. Pembahasan
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa penandaan gender dapat terbentuk mulai pada tataran yang paling kecil seperti morfem sampai pada tataran yang paling luas seperti kalimat. Pada tataran morfologi terdapat bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Jerman yaitu morfem {-θ} penanda gender maskulin dan {-ə} penanda feminin. Dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk lingual berupa morfem {-a} sebagai penanda gender makulin dan morfem {-i} penanda gender feminin.
Persamaan bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ditinjau dari bentuk lingual adalah (1) keduanya sama-sama ditandai oleh morfem pada posisi penultima. Morfem tersebut dapat membedakan jenis gender maskulin, feminin, dan netral untuk bahasa Jerman. Dalam bahasa Indonesia, morfem dapat menandai jenis gender maskulin dan feminin dan (2) Keduanya sama-sama memiliki bentuk dasar dan bentuk turunan.
Perbedaan antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia adalah (1) bahasa Jerman memiliki sufiks yang dapat digunakan untuk menandai gender. Penandaan gender tersebut dapat mengarah kepada jenis gender maskulin, feminin, dan netral. Bahasa Indonesia memiliki sufiks yang dapat digunakan untuk menandai gender. Adapun penandaan gender tersebut terbatas pada jenis gender maskulin dan feminin saja dan (2) bahasa Jerman memiliki artikel yang dapat menandai gender maskulin, feminin, dan netral. Bahasa Indonesia tidak memiliki artikel sebagai bentuk penandaan gender; (3) semua nomina bahasa Jerman yang mengalami proses morfologis memiliki penanda gender. Tidak semua nomina dalam bahasa Indonesia yang mengalami proses morfologis memiliki penanda gender; (4) bahasa Jerman memiliki sufiks sebagai penanda gender yang tidak dimiliki oleh bahasa Indonesia. Adapun persamaannya adalah (1) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, masing-masing memiliki penanda gender yang berasal dari proses morfologis sebuah nomina; (2) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, masing-masing memiliki penanda gender yang mengarah kepada gender maskulin dan feminin. Dengan demikian dalam bahasa Jerman terdapat tiga jenis gender. Bahasa Indonesia hanya terdapat dua gender saja. Gender netral adalah gender yang tidak memiliki kepastian karena dapat mengarah kepada maskulin atau feminin bergantung dari konteks; (3) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia, masing-masing memiliki nomina yang berasal dari unsur serapan dari bahasa asing.
Pada tataran sinktaksis bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan penanda gender pada tingkat frasa dan kalimat. Dalam dalam bahasa Jerman terdapat penandaan gender pada  frasa dan kalimat. Bahasa Indonesia tidak ditemukan adanya penanda gender pada tingkatan frasa dan kalimat. Dengan demikian, untuk bahasa Jerman dan bahasa Indonesia pada tingkatan frasa dan kalimat tidak ada persamaannya.
Pada tataran leksikon antara bahasa Jerman dan bahasa Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan pemarkahan gender. Persamaannya adalah (1) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sama-sama memiliki penanda gender pada tataran leksikon; (2) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sama-sama memiliki gender maskulin, feminin, dan netral; (3) bahasa Jerman dan bahasa Indonesia sama-sama memiliki konstruksi lesikal yang mengungkap kepada maskulin, feminin, dan netral.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat bentuk lingual penanda gender dalam bahasa Jerman dan bahasa Indonesia ditinjau dari berbagai tataran linguistik, seperti morfologi, sintaksis, dan leksikon. Temuan dalam disertasi ini telah sesuai dengan paradigma pertama yang dijadikan sebagai dasar landasan teorinya. Hal ini memiliki beberapa argumentasi, antara lain: (1) bahasa dan masyarakat penutur selalu memiliki hubungan timbal balik, (2) bahasa dan masyarakat saling mempengaruhi satu dengan yang lain, (3) hubungan antara bahasa dengan struktur masyarakat sangat erat, demikian pula sebaliknya dinamika masyarakat mempengaruhi struktur bahasa.

5. Penutup
Berdasarkan pada pembahasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) terdapat satuan lingual penanda gender dalam bahasa Jerman pada berbagai tataran yang meliputi: tataran morfologi, sintaksis, dan leksikon; (2) terdapat satuan lingual penanda gender dalam bahasa Indonesia pada tataran morfologi dan leksikon. Tataran fonologi dan sintaksis tidak ditemukan dalam penelitian ini karena pada tingkatan kata dan frasa sudah dapat mewakili penandaan gender pada tingkatan klausa dan kalimat; (3) terdapat persamaan dan perbedaan lingual penanda gender antara bahasa Jerman dan Indonesia. Persamaannya adalah lingual penanda gender di kedua bahasa tersebut, sama-sama ada yang berasal dari unsur serapan bahasa asing. Adapun perbedaannya adalah dalam bahasa Jerman pada semua nomina memiliki penanda gender, sedangkan dalam bahasa Indonesia tidak semua nomina memiliki penanda gender. Dalam bahasa Indonesia tidak terdapat penanda gender pada tataran sintaksis; (4) erdapat berbagai alasan penyebab munculnya lingual penanda gender baik dalam bahasa Jerman maupun bahasa Indonesia. Penyebabnya adalah keduanya berasal dari unsur serapan bahasa asing yang didasarkan pada grammatical gender ‘gender gramatikal’. Walaupun demikian, dalam bahasa Jerman terdapat lingual penanda gender yang memang berasal dari bentuk lingual bahasa Jerman itu sendiri.