Gelar Doktor Pertama di tahun 2016 di FBS

FBS-Karangmalang. Karya sastra tidak pernah lepas dari kekosongan budaya. Artinya setiap karya sastra memberikan tanda-tanda budya yang harus dimaknai oleh para pembaca. Dalam karya Indonesia,  novel-novel  periode 1980-1995 mengetengahkan unsur budaya lokal jawa seperti dalam  novel  Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari , Para Priyayi karya Umar Karyam, Canting karya Arswendo Atmowiloto.  Dalam novel-novel tersebut semua aspek cerita berbicara dan menyuarakan budaya jawa . kekentalan budaya jawa tampak dalam latar belakang, kepercayaan masyarakat, status sosial, latar waktu, dan nama-nama. Tema inilah yang dipaparkan oleh Drs. Hartono, M.Hum, dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNY saat mempertahankan desertasinya dalam ujian terbuka program doktor, Senin, 4 Januari 2016 di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
“Pada tahun 1980-an dan 1990-an awal, novel Indonesia digairahkan oleh sesuatu yang disebut dengan warna lokal atau sensibilitas lokal, dan para pengarang cenderung mengangkat budaya daerah sesuai dengan latar belakang sosial-budaya demografinya,” ujar, Hartono, M.Hum yang telah berhasil meraih gelar doktor perta di tahun 2016 di FBS UNY.
Selanjutnya dikatakan, bahwa para pembaca novel Ronggeng Dukuh Paruh dapat mengidentifikasi tanda-tanda budaya yang dipaparkan oleh Ahmad Tohari. Tanda tersebut secara semiotika budaya memberikan makna tersendiri seperti  tanda budaya dalam kepercryaan masyarakat dukuh Paruk, kehidupan dukuh paruk sendiri, atapun ronggeng itu sendiri yang mencerminkan sebuah budaya khas Banyumas.
Mengapa di tahun tersebut tema-tema yang diambil oleh pengarang lebih banyak tentang budaya lokal? Menurut Hartono, hal itu terjadi dikarenakan  situasi politik saat karya tersebut diciptakan. Saat itu pemerintah sering melakukan penyensoran terhadap tulisan-tulisan yang ditengarai berbau subversif. Karenanya,, kemudian para pengarang seolah-olah sedang mencari tema alternatif tanpa mengurangi substansi dan tujuan pencipataan sebuah karya sastra.
Tetapi di sisi lain, Hartono juga menggarais bawahi bahwa aspek budaya tersebut juga mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesadaran akan budaya loka dan nasional. Munculnya kesadaran tersebut diharapkan akan dapat membangun identitas anak bangsa di tengah gempuran budaya global. (Setyawan, Humas-FBS)