Membentuk Pribadi Nasionalis dan Berbudi Luhur melalui Seni dan Pendidikan Seni

FBS-Karangmalang. “Dulu orang tidak tanya agama kamu apa, karena yang penting adalah budi pekerti, di mana keimanan sesungguhnya hidup,” ungkap Prof. Dr. F.X. Mudji Sutrisno, S.J., sebagai salah satu panelis dalam agenda Plenary Session I of ICAAE (International Conference for Arts and Arts Education) di Ruang Sidang lantai 3 Gedung PLA FBS UNY. Plenary Session pertama tersebut dihadiri oleh 150 peserta dari dalam dan luar negeri, pada Rabu (05/03).

Dalam masyarakat, jelas Profesor Mudji, kini terdapat tiga generasi yang hidup bersama. Pertama, generasi tertua: generasi tutur yang menceritakan dengan lisan. Kedua, generasi yang lebih muda: generasi tulis yang merekam budaya dengan pena dan kertas. Ketiga, generasi termuda: generasi digital yang tak bisa lepas dari teknologi dalam setiap detik kehidupannya. Ketiga generasi ini membentuk tradisi estetika. Namun, sayangnya ada celah lebar ketidakmengertian antargenerasi, sehingga timbullah istilah seperti “jadul” untuk mengungkapkan perbedaan budaya antargenerasi tersebut.

Menurut Profesor Mudji, ada lima hal penting yang dapat diajarkan di antaranya: pendidikan, gramatika, retorika, puisi, dan pesan moral. Menurutnya, memahami teks besar (local genius) dalam bentuk wayang, drama, atau dinarasikan melalui media lainnya sangatlah penting. Akan tetapi, hal itu terputus di generasi sekarang ini. Oleh karenanya, ketiga generasi tersebut membutuhkan jembatan berupa narasi dan narator dalam pembangunannya. Selanjutnya, ketiganya dapat diwujudkan melalui seni dan pendidikan seni. 

Tak lupa, Profesor Mudji menekankan tentang perlunya konsistensi universitas (eks-IKIP) dalam mendidik calon guru yang berkualitas. Profesor Mudji menceritakan pula tentang pengalaman Romo Mangunwijaya bertemu B.J. Habibie yang sedang berdoa di sebuah katedral di Jerman. Kejadian tersebut dipandang aneh oleh masyarakat pada umumnya. Selama masih ada rasa ketidakpercayaan antarsatu sama lain (agama atau kepercayaan), maka perbedaan akan tetap dianggap sebagai sebuah ancaman.

Prof. Dr. Suminto A. Sayuti (guru besar UNY) senada dengan pernyataan Prof. Mudji, UNY tentang pentingnya seni dan pendidikan seni. Prof. Suminto mengungkapkan bahwa buku suci (kitab suci agama) perlu didialogkan dengan kearifan lokal. Hal tersebut terwujud dalam bentuk seni yang perlu dikembangkan dalam rangka membentuk pribadi nasionalis dan berbudi pekerti luhur.

Menurutnya, esensi seni adalah wujud ekspresi diri—baik individu atau kolektif. Keragaman Indonesia adalah kekuatan bangsa, bukan sebaliknya. Bangsa Indonesia harus mampu menerapkan peribahasa, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” menjadi seseorang yang mau belajar dan menyesuaikan diri dengan budaya lain tanpa kehilangan jati dirinya. “Keli nanging ora ngeli,” ujar Prof. Suminto. (Wardania/Rony/HumasFBS)