Seni dan Sastra Anak Diambang Lenyap: Quo Vadis?

FBS-Karangmalang. Dunia anak perlu diselamatkan dari prahara budaya pop yang tiap harinya mendoktrin secara implisit melalui media elektronik. Implikasinya, sikap anak terhadap lingkungan sosialnya berkembang ke arah pendewasaan dini dan tak mengenal moralitas yang “seharusnya” sesuai usia normalnya. Asupan media tiap detiknya menjadi penyebabnya. Bila hal itu tak di-filter sesuai porsinya, harapan bangsa terhadap anak-anak sebagai sendi peradaban masa depan akan lenyap. Berangkat dari persoalan itu BEM FBS UNY kabinet Serawung 2014/2015 menginisiasi kegiatan Seminar Internasional bertajuk Improving the Role of Arts and Literatures as a Medium of Character Education for Children pada 17 Desember 2014 di Laboratorium Karawitan, FBS, UNY.
    Strategi dan siasat terhadap gempuran identitas kebudayaan “anak-anak” di Indonesia tersebut ditelaah melalui perspektif seni dan sastra. Dua elemen itu dipercaya menjadi pembangun karakter (pendidikan moral/karakter) pada anak. Oleh karenanya, BEM FBS menyatu-padukan empat pembicara yang mengkaji seni dan sastra anak dalam satu forum. Pembicara sekaligus pemakalah dalam Seminar Internasional yang juga didukung oleh Kantor Urusan Internasional dan Kemitraan (KUIK) UNY, mendatangkan Dr. Katrin Bandel (Pakar sastra dan filsafat post-kolonialisme berkebangsaan Jerman), Dik Doang (Pegiat Seni Pengajaran Bagi Anak-anak di Kandang Jurang Doang Jakarta), Anandayu Suri Ardini (Pegiat sastra anak di Komunitas Kolong Tangga yang diasuh oleh Rudy Corens), dan M. Bayu Tejo Sampurno (Mahasiswa Pascasarjana Seni Pertunjukan UGM dan juga peneliti pengajaran melukis bagi anak-anak berkebutuhan khusus).
    Pergolakan tingkah laku dan dunia anak ternyata dinarasikan melalui novel remaja, ungkap Bandel dalam pemaparannya tentang novel remaja. Uniknya, lanjut Bandel, novel remaja di Indonesia ditulis sendiri oleh sang remaja. Berbeda dengan kondisi di Jerman: pelbagai ceritera keremajaan di dalam novel pastilah ditulis oleh orang dewasa secara mandiri—yang secara psikologis tidak bisa dikatakan lagi sebagai remaja. “Kondisi ini memang menarik. Mengingat, pengetahuan empiris yang dapat dipetik langsung oleh pembaca saat membaca novel remaja; ternyata ceritera (dalam novel itu) ditulis langsung berdasarkan pengalaman pribadi remaja,” ungkap dosen yang mengajar sastra di Universitas Sanata Dharma itu. Menurut Bandel, di Indonesia belumlah banyak penelitian hal ihwal pendidikan moral dalam sebuah novel remaja. “Padahal, melalui pengkajian ilmiah terhadap novel remaja, kita dapat mengetahui dunia anak secara langsung. Hal ini sangat berguna bila ingin mengeksplorasi lebih dalam tentang sastra anak,” jelasnya.
    Sebaliknya, ihwal pengajaran seni untuk anak-anak Dik Doang menyampaikan strategi khusus andalannya. “Pengajaran seni untuk anak haruslah dibarengi dengan permainan kreatif, sehingga sang anak menikmati proses pembelajarannya,” jelas pengasuh sekaligus pendiri Kandang Jurang Doang itu. Doang menitikberatkan pada kenyataan pembelajaran yang ada di komunitas yang diasuhnya. Di sana, pengajaran dilakukan dengan mengacu pada “pendidikan haruslah diarahkan pada kemerdekaan kreativitas siswa”. Oleh karena itu, tak heran apabila anak jalanan yang diasuh Doang di tempatnya itu malah melahirkan seniman hebat—terutama pelukis.
    Selain itu, Anandayu memaparkan makalahnya dengan berpijak pada penelitian tentang Dekonstruksi Konsep Kepahlawanan oleh JK Rowling dalam Dongeng Berjudul The Warlock’s Hairy Heart. Ia mengulas tuntas tentang teori dekonstruksi yang dicetuskan oleh Derrida. Melalui teori itu, ia secara garis besar menguak antara konsep ideal versus marginal yang didekonstruksikan dengan penggambaran hubungan antara Sang Ksatria dan Pelayananya. Senada dengan Anandayu, Tejo berangkat dari persoalan penelitian mandirinya tentang seni lukis. “Setiap anak memiliki keunikan yang sering diekspresikannya dengan spontan tanpa terhalang oleh batasan-batasan pemahaman layaknya orang dewasa,” paparnya di alinea akhir makalahnya. Ia berkeyakinan bahwa seni menjadi penghalus etika anak. Apalagi, jika seni lukis diajarkan sejak dini, katanya. “Melalui seni, maka sang anak akan ada. Lalu, kreativitas otak pun berkembang,” tutur Tejo yang alumnus Pendidikan Seni Rupa, FBS, UNY angkatan 2010 itu.
    Melalui gelaran internasional yang diadakan BEM FBS ini, Akhlis M. Makrifat selaku ketua panita mengatakan: “Semoga tercipta sebuah konsepsi pemahaman alternatif tentang seni dan sastra anak untuk pendidikan karakter.” Terlebih, acara ini sangat relevan dengan pendidikan karakter yang didengungkan oleh UNY—menjadi istilah “luhur”—sebagai kampus yang dikenal publik nasional sebagai punggawa “Leading in Character Building”. Dengan demikian, harapannya Seminar Internasional ini menjadi kontribusi kecil bagi kemaslahatan kolektif. (Rony/Humas FBS).
 

Tags: