Dari Negeri Crepes ke Kerajaan Gudeg

FBS-Karangmalang. Budaya telah lama menjadi salah satu bidang yang paling menarik untuk diperbincangkan dan diteliti. Keberanekaragamannya menjadi daya tarik yang terbukti cukup ampuh. Pada sebuah kota bisa saja terdapat satu atau dua perbedaan, apalagi jika bilangannya berpindah kepada suatu negara. Namun di antara banyak perbedaan pasti juga ada persamaan.

Persamaan budaya inilah yang coba diangkat oleh Andi Mustofa dkk. dalam PKM-P mereka. Memilih dua negara yang terpaut jauh jika bicara jarak, tiga mahasiswa Pendidikan Bahasa Perancis ini melakukan penelitian melalui pendekatan semiotik. Latar Belakang Sosial Budaya Daerah Bretagne (Prancis) dan Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Pendekatan Semiotik pun dipilih sebagai judul.

“Daerah Bretagne dan DIY itu memiliki kesamaan dalam hal budaya. Mereka sama-sama masih kental ada istiadatnya dan memegang budaya tersebut. Juga dari segi arsitektur dan bahasa, dua kota di dua negara beda ini juga punya kemiripan,” jelas Afidah Rahma Utami.

“Kami mahasiswa bahasa, jadi kami ingin meneliti sesuai bidang. Itu juga yang mendasari kenapa kami ambil Bretagne, Prancis, bukan yang lain,” kali ini dari Farida Nurul Azizah.

Kota Bretagne dan Yogyakarta secara kebetulan memiliki persamaan dari segi budaya. Keduanya sama-sama memiliki bahasa asli yang masih digunakan hingga sekarang, memiliki rumah tradisional dengan arsitektur yang mirip, dan sama-sama mempertahankan makanan khas daerah. Bahkan dua kota ini menempati urutan 5 tujuan wisata di negara masing-masing.

Dengan pendekatan semiotik Peirce mengenai tanda, ikon, dan segala yang berhubungan dengannya, tiga peneliti muda ini mengulik persamaan budaya yang ada. Diketuai Andi Mustofa, mereka berangkat mencari bahan penelitian ke perpustakaan, mengunjungi LIP, mewawancarai pemandu wisata, menjelajahi jurnal-jurnal di dunia maya, dan berkonsultasi dengan pakar—dalam hal ini dosen pembimbing.

“Kalau di Yogya kita pakai bahasa Jawa, di Bretagne mereka memakai Breton. Bakpia dan gudeg masih sering ditemui di Yogya, crepes juga masih menjadi primadona di sana. Orang Yogya punya Joglo, orang Bretagne punya les maisons de Bretagne,” terang Farida lagi.

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan studi mahasiswa atau yang mendalami bahasa Prancis, selain dapat digunakan sebagai acuan persamaan kebudayaan DIY dan Bretagne. Keterbatasan referensi, diakui Mustofa dkk, masih menjadi kendala.

“Semoga bisa dijadikan artikel atau jurnal nantinya. Agar bisa berkontribusi dalam studi bahasa Prancis dan tidak kesulitan seperti kami,” tutup Afidah. (Nunggal)