Berkreativitas Tanpa Batas dengan Limbah Biji Salak

FBS-Karangmalang. Siapa tidak kenal buah salak? Ya, tanaman buah yang memiliki cita rasa manis ini terkenal seantero negeri sebagai komoditas khas Yogyakarta. Saat ini, buah salak tidak lagi hanya disantap sebagai buah biasa melainkan juga diolah menjadi aneka makanan semisal keripik salak, bakpia salak, dodol salak, dan sebagainya. Di Yogyakarta, tepatnya di daerah Sleman banyak dijumpai home industry maupun Usaha Kecil Menengah (UKM) yang memproduksi aneka olahan buah salak. Kegiatan pengolahan buah salak tersebut menghasilkan limbah sisa berupa biji salak yang sayangnya oleh masyarakat hanya dianggap sebagai sampah yang tidak berguna. Seiring dengan meningkatnya animo pasar terhadap aneka olahan makanan dari buah salak, semakin meningkat pula volume limbah biji salak yang dihasilkan. Selama ini limbah biji salak hanya dibuang begitu saja dan menjadi sampah yang mencemari lingkungan.

Berangkat dari kondisi ini, muncullah ide dari sekelompok mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta untuk mengolah dan memanfaatkan limbah biji salak tersebut menjadi suatu inovasi produk yang memiliki nilai jual tinggi. Maka, terciptalah suatu produk kreatif berupa tas handicraft dengan hiasan rangkaian biji salak dengan merek “Ethlishthos” yang merupakan singkatan dari “ethnic and stylish kenthos”. Mahasiswa yang terdiri dari Irawan Syarifuddin Daher (Pendidikan Luar Sekolah), Ninda Arum Rizky R. (Bahasa dan Sastra Inggris), Galih Dwi Jatmiko (Pendidikan Biologi Internasional), dan Muhamad Ridwan (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) ini dengan kreativitasnya mengolah dan menyulap limbah biji salak yang semula tampak hanya sebagai sampah tidak berguna menjadi suatu produk tas cantik yang etnik dan modis dengan variasi corak dan desain.

Ninda selaku divisi produksi menuturkan, bahwa dalam pengolahan limbah biji salak menjadi rangkaian tas cantik, terdapat empat proses treatment utama, yaitu pembersihan dan penyortiran biji, pemotongan biji, pengukiran biji menggunakan pisau ukir, dan yang terakhir perangkaian dan pelapisan biji. “Kami bekerjasama dengan home industry batok kelapa di daerah Sewon, Bantul, dalam hal pengadaan alat dan lokasi produksi. Untuk bahan bakunya sendiri kami juga telah bermitra dengan dua home industry pengolah buah salak di daerah Turi, Sleman,” jelas Ninda. Mengenai keunikan dari produk tas ini sendiri, Ridwan selaku divisi pemasaran menjelaskan bahwa peluang tas biji salak Ethlishthos ini untuk menembus pasar amatlah besar, Hal ini mengingat inovasi tas biji salak ini benar-benar baru dan belum pernah ada sebelumnya. Selain itu, dirinya juga menjelaskan bahwa produk tas Ethlishthos sudah beberapa kali melakukan pameran dan respon pasar amatlah bagus. Keunikan rangkaian biji salak dan desain tas yang etnik menjadi daya jual tinggi di masyarakat.

Harga yang dipatok untuk setiap varian model tas juga bervariasi mengingat dalam produksi tas ini sebagian besar prosesnya adalah handmade yang menjadikan nilai jualnya semakin tinggi. Kedepannya, keempat mahasiswa ini berharap bahwa rintisan wirausaha tas biji salak Ethlishthos ini dapat terus berkembang pesat seiring dengan animo masyarakat dan menjadi sentral usaha kerajinan biji salak yang dapat membuka lapangan kerja yang optimal bagi masyarakat serta meningkatkan daya tarik kota Yogyakarta, khususnya daerah Sleman dalam hal pariwisata belanja dan agrowisata salak. (Ninda/Fitri/Humasfbs)